Menanggalkan “pakaian” Yesus
Yesus saat ini telah menjadi figur idola. Tidak ada figur lain dalam sejarah Barat yang disematkan dengan beragam status. Beberapa dekade setelah kematian Yesus, muncul kisah-kisah tentang kelahiran-Nya. Pada akhir abad pertama, diri-Nya digelari dengan pelbagai macam status: Anak Allah, Firman yang menjadi manusia, Sang Roti Kehidupan, Terang Bangsa-Bangsa, Dia yang akan datang kembali sebagai Tuhan.
Beribu tahun sesudahnya, Yesus mendominasi kultur budaya Barat. Hal tersebut dapat dilihat dari fenomena yang terjadi: agama dan devosi, seni, musik dan arsitektur, pemikiran intelektual dan norma-norma etika, bahkan dari sisi politis. Dengan kata lain, berabad-abad lamanya Yesus telah menjadi figur sentral bagi sebagian orang di dunia, setidaknya di Barat.
Seluruh gelar dan paradigma manusia sepanjang sejarah seumpama pakaian yang dikenakan Yesus. Kitab Suci pun menampilkan “pakaian-pakaian” tersebut. Kita tentu tahu bagaimana orang-orang di Yerusalem bersukaria dan ingin menjadikan Yesus sebagai raja, sama seperti Daud dengan kerajaannya. Mereka melihat Yesus sebagai mesias dalam arti politis. Bahkan Petrus pun berpikir demikian. Ketika ia ditanya oleh Yesus, “Siapakah Aku ini?” , Simon Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” . Lalu Yesus melarang para murid-murid-Nya untuk memberitahukan kepada siapapun siapa diri-Nya. Kisah selanjutnya, masih dalam konteks yang sama, Yesus menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya. Petrus malah menegor Yesus dan mengatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi. Tegoran Petrus ini ditanggapi oleh Yesus dengan keras sebagaimana digambarkan dalam Matius 16:23. Yesus lantas menjelaskan mesias seperti apakah diri-Nya.
Menanggalkan pakaian Yesus adalah membebaskan Yesus dari gelar-gelar dan pengharapan yang disematkan orang kepada-Nya. Satu momen yang paling pas bagi kita untuk mengerti dan melihat sosok Yesus apa adanya adalah ketika Ia disalibkan. Melalui rupa Yesus yang disalib tanpa pakaian kita dapat melihat arti dari mesias yang Ia maksud. Dari sana pula terjawab identitas, tujuan dan pesan-Nya secara jelas. Ia diutus ke dunia dan wafat di salib sebagai rekonsiliasi antara Allah dan umat manusia. Pesan-Nya adalah mengundang para pendengar-Nya untuk percaya akan apa yang dikatakan tentang diri-Nya dan kebenaran tentang keselamatan yang ia tawarkan. Hanya dua pribadi yang kala itu bisa menjawab undangan-Nya, kepala pasukan dan salah satu penjahat yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus.
Sangat sulit untuk mencari sumber detail biografi Yesus. Sumber utama yang dapat dijadikan acuan tentu saja adalah keempat Injil. Namun, melihat siapa Yesus dari keempat Injil akan membawa problema tersendiri. Apakah Injil dapat dijadikan sebagai biografi Yesus? Jika membandingkan dengan struktur tulisan biografi sekarang ini, keempat Injil menjadi sebuah informasi yang tidak lengkap. Tulisan biografi sendiri baru muncul sekitar abad 9. Sebagai sebuah perbandingan, tulisan biografi biasanya memuat sejarah hidup seseorang dari masa kecil hingga present time. Di dalam isinya terdapat cerita hidup seseorang, di mana ia belajar dan tinggal, serta pemikiran-pemikiran yang ia hasilkan sepanjang hidupnya.
Keempat Injil sulit untuk dijadikan sebagai biografi Yesus karena mereka tidak menampilkan proses pendidikan Yesus pada tahun-tahun pertama kehidupan-Nya. Kehidupan Yesus selama 30 tahun awal tidak ditampilkan. Bahkan keempat Injil sendiri pun menyajikan gambaran Yesus yang berbeda satu sama lain.
Dalam Matius, Yesus digambarkan sebagai guru orang Israel. Gambaran Yesus ini muncul sebagai hasil refleksi iman komunitas Matius yang beranggotakan orang Kristen Yahudi yang percaya bahwa Yesus adalah mesias.
Dalam Lukas, Yesus digambarkan dekat dengan orang-orang miskin, yang tersingkir, orang asing, perempuan dan orang non-Yahudi.
Injil Markus menampilkan Yesus layaknya singa yang mengaum. Ia menyembuhkan banyak orang, mengajar, menampilkan mukjizat dan memberitakan Kerajaan Allah sudah dekat.
Injil Yohanes justru mengambil gambaran yang sedikit berbeda dari ketiga Injil Sinoptik. Siapa Yesus menurut Yohanes dapat dilihat dalam awal Injilnya (Yoh 1). Yesus adalah Firman yang awalnya bersama-sama dengan Allah, yang terlibat sejak awal penciptaan dan mengambil rupa manusia untuk tinggal bersama kita. Oleh karena itu, Injil Yohanes lebih banyak berisi teologi, lebih banyak refleksi iman mengenai Yesus – sebagaimana terungkap bahwa Yesus dan Bapa adalah satu (Yoh 10:30).
Itu baru keempat Injil, belum lagi Yesus versi Paulus. Jika saya lanjutkan, saya kira tulisan ini akan menjadi sebuah skripsi tentang kristologi alkitabiah.
Jelas bahwa gambaran Yesus dalam Kitab Suci merupakan interpretasi seorang/komunitas sesuai dengan konteksnya masing-masing. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Kitab Suci sendiri adalah sebuah kristologi kontekstual. Pertanyaan “menurut kamu, siapakah Aku ini?” akan menjadi sebuah proses yang tidak pernah selesai. Oleh karena itu, kalau saat ini Yesus berada di depan anda dan berkata, "Menurut kamu, siapakah Aku ini?", Jawaban apa yang anda berikan??
"ya Allahku dan Tuhanku..."
BalasHapus