31 Agustus 2009

Gw emang kaya begini ???? (explicit content)

Gw heran, kenapa masih aja ada orang yang selalu merasionalisasikan dirinya ketika berbuat kesalahan sama dan berulang-ulang. “hmmm.. sori yaah, gw minta maaf karena gw udah buat salah. Tapi mo gimana lagi, gw emang aslinya kaya gini, gw emang orangnya kaya gini”. Perkataan kaya gini ni yang seolah-seolah ngasi tau kalo dia menyerah kepada keadaan. Emang dia punya kebiasaan buruk. Tapi kalo dia lantas mengatakan bahwa kebiasaan buruk itu adalah sebagian atau seluruh dari keasliannya dia, alasan ini sama sekali gak bisa dipertanggungjawabkan. hal ini sama seperti ketika kita punya motor bekas yang sering ngadat. Teman kita sering protes karena itu kita sering terlambat. Tapi alasan kita, 'yaah mo gimana lagi, ini kan motor bekas, businya aja udah item gitu..." pleaseee doong,, yaa, dibenerin dong motornyaaa..... Ekstremnya, alasan kaya gitu bisa jadi alasan orang untuk berbuat salah/kejahatan terhadap sesamanya. “eh, sori ya gw suka geplak kepala lo, gw emang orangnya kaya gini...” Bullshit!!!

Padahal, setiap orang itu diciptakan baik, sesuai keaslian pada awal manusia diciptakan. Tapi, sering perjalanan waktu, keaslian seseorang tereduksi oleh pelbagai macam hal di luar dirinya. Apalagi, dalam diri setiap orang ada kecenderungan untuk berbuat dosa. Perbuatan yang kita lakukan, salah maupun benar semuanya adalah keputusan. Keputusan dibuat atas dasar diri sendiri, bukan atas dasar orang lain. Jadi, kalo seseorang melakukan kesalahan yang sama, selalu, berulang-ulang, itu sama aja dengan orang bego!! Yang selalu jatoh ke lubang yang sama. Gak mampu belajar dari kesalahan yang dia alami sebelumnya. Kalo mau berubah ke arah yang lebih baik, rubahlah, buatlah keputusan. Intensio Recta, lakukan apa yang ingin dilakukan sejauh itu mendukung intensi kita untuk berubah ke arah yang lebih baik. Latian dikit demi sedikit, supaya kita punya kehendak yang kuat untuk bisa mengalahkan kecenderungan rasionalisasi kaya di atas. Sehingga nantinya, kita gak lagi ngomong, “sori yah, gw emang kaya gini..”. Tapi, “maaf gw udah buat salah, gw emang sering gak sadar ngelakuinnya, tapi gw janji mau berubah. Tolong bantu gw ya..”



HIDUPLAH BUKAN DENGAN APA ADANYA.... TAPI HIDUPLAH SEBAGAIMANA SEHARUSNYA HIDUP ITU DIHIDUPI... BLESS U ALL ^^

30 Agustus 2009

Kepentok, Jatoh dan teman-teman baru....

Jumat, 28 Agustus 2009
AARRRRGGGGHH!!! Hari ini dua kali anggota badan gw lecet. Yang pertama pagi2, waktu mo kuliah, pas gw mo ambil baju yang adanya dibawah bagian lemari. Begitu dapet tau2 kepala gw kepentok slot penutup lemari!!... anjriiit, sakit bangeet asli!! Benjol n berdarah. Abis kepentok gw langsung guling2an sendiri di kasur, sambil memaki2 binatang yang ada di bon bin hehehehe....

Kedua, baru aja sore tadi, pas mo maen bola. Biasanya gw maen mini soccer itu nyeker, alias gak pake spatu. Sebelumnya, jempol gw pernah dihajar beradu kaki.. dan langsung bengkak dan keseleo. Maka!!!! Demi menyelamatkan kaki gw biar gak keseleo, ya udah gw memutuskan untuk pake spatu futsal. Eh, pas lagi tendang2an gitu, BelUM JUGA MAENN!!!..gw kepeleset pas mo tendangan voli. Dan lutut kiri gw nahan badan, jadilah lutut gw lecet, berdarah pula, hiks hiks hiks. Tapi bodo!! Gw bersihin sedikit pake aer, langsung hajar lagi maen bola hehehehehe. Penderitaan tak perlu menjadi penghalang untuk maju!!!


oia, hari ini pengalaman pertama gw bertemu dengan KMK FKH UGM. Kali ini suasananya berbeda jauh banget dari FKU. Tempatnya kecil, duduknya lesehan, tanpa ac. Tapi... menyenangkan. Entah kenapa, ini semacam oase yang cukup menyegarkan buat gw, meskipun diberi tugas untuk membawakan renungan. Tapi yang jelas, gw bisa dapet temen baru dan tempat dimana gw bisa berbagi pengalaman rohani dan cerita di antara kaum muda hehehehe... Thanks GOD 4 this day...

New days, new experience, new life...

iya... judul di atas emang menggambar situasi gw saat ini. Terhitung sejak tgl 19 agustus 2009 kemaren gw udah resmi menjadi penghuni Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan, JOgjakarta. Seminari ini terletak di Jln. Kaliurang (JaKal) Km.7.. kalo dari UGM, susurin aja jalan kaliuran menuju utara jogja, naaah ntar di sebelah kiri tuh ada plang dan ada tulisannya, Seminari Tinggi St. Paulus. jadi gak usah segan2 kalo ke jogja, monggo pinarak... hehehehe

Jogja, adalah sebuah kota kecil dibandingkan Jakarta dengan segala keruwetannya itu. Ya iyaalaaaahhh!!!.. Pertama kali datang ke seminari ini, gw dateng berombongan dengan 2 orang yang lain, lucky dan rafael. Ditemani dua orang yang baik hati, Aldi dan Rido, perjalanan 12 jam Jakarta-Jogja kami lalui dengan mengendarai mobil, yang penuh dengan barang2 bawaan kami masing-masing. BUkan soal perjalanannya yang mau gw ceritain di sini, tapi pergulatan batin gw saat tiba di tempat ini. Gw sampai di jogja sekitar setengah 7 malem, langsung menuju seminari. Kami disambut, dan langsung diantar ke kamar masing2. Begitu gw sampai di kamar, entah kenapa ada rasa penolakan yang terjadi dalam diri gw. Buat gw ini adalah reaksi spontan. Gimana ngga coba? di pulogebang, gw tinggal di kamar yang luas banget, ac, internet 24 jam, ada TV, wastafel plus kamar mandi dalem. Bener2 surga banget kan? Tapi kondisi sebaliknya gw lihat di sini. Kamar ini luasnya mungkin hanya 1/3 kamar gw sebelumnya. No TV, no internet access, no ac. Yg ada hanya, sebuah lemari pakaian, yang tingginya sedada gw. 2 buah meja kecil dan satu bed, tanpa kasur. Kondisi inilah yang menimbulkan penolakan, dan hati kecil gw berkata "gw gak mau tinggal di sini!!"... hehehe.. Maka itulah, untuk malam pertama, gw n teman2 yang lain memilih untuk buka kamar, nginep tumplek2 dah di satu kamar..




Esoknya, malam pertama gw tidur di kamar seminari. Gw masuk angin. Biasanya, gw kalo tidur selalu mau supaya gw bisa menghirup oksigen sebanyak2nya, karena tidur adalah saat manusia menghirup oksigen secara maksimal. Kualitas tidur juga ditentukan oleh kualitas udara yang kita hirup saat kondisi tidak sadar itu. Kaliurang adalah tempat yang udaranya dingin. Tapi kalo gw tutup jendelanya, pasti oksigen yang masuk ke kmar gw gak maksimal. Maka, gw bukalah jendelanya, sedangkan gw bersiap2 tidur. Tanpa selimut (karena gak ada), disubtitusi oleh handuk...dan Ternyata perhitungan gw SALAAH BESaAARR!!! Pagi2 badan gw gak enak, dan tenggorokan gw sakit. Yaaak!!! gw masuk angiiin sodara-sodara hehehehehe....

Cuma itu pengalaman adaptasi gw yang berkesan. Butuh waktu 3 hari buat gw untuk mencintai jogjakarta, dan sejenak melupakan Jakarta. Dan sepertinya gw akan menikmati hari-hari hidup gw di sini.. Orientasi di jogja selese, pulang dulu ke jakarta untuk menghadiri tahbisan tgl 18 agustus 2009

19 Agustus 2009
Yo, bro. Newdays, new experiences, new life.. yak, akhirnya gw sampe juga di jogja untuk waktu yang lama. Gw baru aja dateng kemaren sore, sekitar jam 5an gitu. Naek pesawat dari terminal 3, soekarno hatta, terminal yang baru. Trus sempet delay beberapa menit, trus akhirnya brangkat juga. Naek air asia, yang pesawatnya asli bapuk abis. Hahahaha. Yah namanya juga paket murah. Sampe jogja gak berasa, tau2 udah mendarat aja.. sampe langsung mandi. Dan selanjutnya... ikuti cerita2 gw melalui hari2 di jogja...

Aku ada bersama Kamu, sebuah refleksi Tahun Pastoral

AKU ADA BERSAMA DENGAN KAMU

Sebuah Refleksi Akhir TOP 2008-2009

Fr. Reynaldo Anthoni H

Manusia: ada bersama yang lain

Dalam situasi sosial zaman modern dewasa ini, seseorang dihargai kepasitasnya ketika ia mampu memberikan/menghasilkan suatu produk bagi tempat ia bekerja/mengabdi. Dengan kata lain, seorang manusia bernilai sejauh ia produktif atau tidak. Sebaliknya, seseorang akan dianggap useless ketika ia tidak mampu menghasilkan apapun. Mentalitas ini berkembang di dalam masyarakat dan memaksa manusia zaman sekarang hidup dengan filosofi ada-untuk (being-for). Aku ada jika aku melakukan sesuatu untuk lingkungan tempat aku berkarya.

Ternyata selain filosofi semacam itu, masih ada cara hidup lain yang berbeda namun lebih bermakna. Makna filosofi itu menekankan sisi keberadaan dibandingkan produktifitas, yakni ada-bersama (being-with). Penilaian terhadap produktifitas, nilai berdasarkan hasil menjadi runtuh ketika berhadapan dengan filosofi ini. Ia menekankan kehadiran daripada target. Ia menekankan pendampingan daripada mengejar prestasi pribadi. Ia lebih menekankan kesetiaan daripada kesuksesan.

Keberadaan setiap pribadi selalu mengandaikan kehadiran orang lain. Orang lain menjadi tempat sentral dalam pergerakan diri setiap pribadi. Setiap orang mustahil mengenal dan mengerti siapa dirinya tanpa relasinya kepada orang lain. Begitupun dia tak mungkin masih bertahan hidup dan memaknai kehadiran dirinya di dunia kalau sedari awal membatasi ketergantungan dirinya terhadap sesama. Untuk mengenal diri dan orang lain, lebih efektif ketika manusia dihadapkan pada suatu masalah bersama dengan orang lain. Hal itu lebih baik daripada seorang dibiarkan memecahkan masalahnya seorang diri.

Keterarahannya kepada orang lain menuntut dia juga untuk menjadi saudara bagi sesamanya – bertanggung jawab atas kebaikan hidup sesama yang ada bersamanya. Di sinilah letak tanggung jawab etis seseorang. Nilai etis dalam kehidupan manusia terletak dalam humanisme terhadap sesama yang lain dan bukannya egoisme. “Ada-bersama” dengan orang lain menentukan nilai etis tindakan seseorang. Kehadiran orang lain di hadapan kita memproduksi nilai-nilai moral. Moralitas dan hukum akan lahir justru ketika kita hidup bersama dengan orang lain. Apakah hukum dan moralitas dibutuhkan jika kita hidup seorang diri di sebuah pulau?

Driyarkara mengatakan bahwa manusia hanya bisa menjadi manusia dan mempertahankan diri sebagai manusia dengan dan dalam memasuki dan mendiami dunia manusia. Hal itu berarti bahwa dia memasuki dan dimasuki alam subjek-subjek lain. Jadi, dia bersatu dengan subyek-subyek lain. Filosofi Ada bersama muncul dengan saling membangun. Dalam saling membangun dan saling menyempurnakan itulah letak cinta kasih yang sebenarnya.

Maka, tulisan ini adalah sebuah refleksi yang saya coba susun secara komprehensif. Di dalamnya akan tertuang bagaimana pergulatan saya dalam berpastoral. Khususnya, ketika konsep ada-bersama ini yang menjadi sebuah teori saat saya kuliah, menjadi hidup saat saya berpastoral dan mengalami perjumpaan dengan orang lain.

Pastoral: ada bersama mereka yang dilayani

Jangan pernah berhitung dengan waktu, karena akan terasa sangat panjang. Tetapi ketika kita menjalani dan menghidupi waktu, kita justru akan kekurangan waktu. Inilah yang persis saya alami. Satu tahun menjadi waktu yang sangat cepat ketika dijalani. Saya masih bisa membayangkan kedatangan saya dengan menggunakan sepeda ke paroki ini. Sekarang, saya sudah siap-siap untuk bergegas pergi dari paroki ini melanjutkan ke tahap formasi selanjutnya. Banyak hal yang sudah saya alami dan pelajari.

Sebagai kesimpulan saya mau mengatakan bahwa seluruh hal-hal yang akhirnya memperkaya kepribadian saya didapatkan ketika mengalami perjumpaan dengan orang lain. Pertama, perjumpaan dengan orang-orang di sekitar tempat saya tinggal, yakni para pastor yang menjadi rekan satu komunitas. Saya beruntung dapat mengalami dan mengenal tiga pastor yang berbeda dalam satu tahun pastoral, yaitu P. Rudy Hartono, Pr, P. Jacobus Tarigan, Pr dan P. Frans Doi, Pr. Pada 7 bulan pertama saya dibimbing oleh Romo Rudy, sampai pada akhirnya beliau diutus untuk tugas perutusan baru. Pastor penggantinya adalah P. Jacobus Tarigan, Pr.

Saya tidak pernah percaya akan sebuah kejadian yang “kebetulan”. Yang saya percaya adalah bahwa setiap kejadian yang terjadi adalah kehendak dan rancangan Allah, sehingga pasti selalu ada tujuan, makna, pesan di balik suatu peristiwa. Pergantian Romo Rudy dengan Romo Tarigan pun saya yakini bukan sebuah kebetulan. Saya percaya bahwa Tuhan punya rencana dengan diutusnya Romo Tarigan ke Pulogebang.

Bagi saya kehadiran Rm. Tarigan menjadi rahmat tersendiri. Sempat muncul dalam pertanyaan saya, apa yang dikehendaki Allah lewat kehadiran Rm. Tarigan dalam kehidupan perjalanan panggilan saya? Ternyata Allah menghendaki banyak perubahan yang besar dalam diri saya. Melihat pribadi beliau yang disiplin, saya belajar untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan secara cukup. Saya juga belajar untuk selalu berpikir, bertindak dan sehati dengan Gereja universal. Saya belajar untuk lebih disiplin, menghargai orang lain dengan menghargai waktu, dan selalu memberikan yang terbaik (do the best) dalam kondisi apapun.

Selain itu, saya pun dapat memetik hal yang berguna dalam membangun relasi dengan orang lain. Khususnya bagaimana saya mengolah relasi yang sehat dengan kaum perempuan. Masih ingat dalam benak saya, beliau pernah mengatakan, “Frater, yang berbahaya bukanlah mudika, melainkan ibu-ibu muda. Jika kamu jatuh cinta dengan mudika, kamu bisa membereskannya di luar lalu selesai. Jika dengan ibu-ibu muda, kamu akan mendapat lebih banyak masalah, karena akan menyeret orang-orang lain yang memiliki keterikatan dengannya”.

Kehadiran beliau yang berperan dalam sisa hari-hari saya di paroki ini menambah khasanah tentang beragam kepribadian dan kharisma para imam yang memerkaya Gereja KAJ. Selain itu, lewat sharing-sharing pengalaman yang terjadi di meja makan dapat membantu diri saya secara pribadi untuk memiliki sikap dasar yang kokoh dalam memandang rekan komunitas/pastoran. Tidak bisa dipungkiri, komunitas akan menjadi salah satu aspek penting bagi kehidupan seorang calon imam dan imam nantinya.

Pastor lain yang ada di komunitas ini adalah Romo Frans Doy. Beliau sudah saya kenal ketika masih bertugas di Paroki Cijantung. Dulu saya menjadi misdinarnya, sekarang saya menjadi rekan komunitasnya. Bagi saya, beliau adalah seorang yang sangat baik, murah senyum dan selalu menampakkan sukacita. Beliau pun segan untuk menyakiti hati orang lain. Jika beliau mau menegur seseorang, tegurannya itu disampaikan pada orang ketiga agar orang ketiga itulah yang menyampaikannya kepada orang yang dituju. Beliau terkesan menjauhi konflik dan cenderung mengiyakan segala hal. Karena hal ini pula, beliau disukai dan dikagumi oleh banyak umat di paroki ini. Umat-umat inilah yang akhirnya menjadi pendukung setianya. Intensitas saya untuk berbicara dengannya akhir-akhir ini menjadi sering karena beliau ditunjuk menjadi moderator OMK. Tapi tak jarang pula saya pergi berdua dengannya untuk menghadiri acara tertentu, atau sesekali mengikuti acara komunitas bentukannya, komunitas meditasi kitab suci. Salah satu motonya yang saya suka dalam melayani adalah “Jika tidak bisa tersenyum, janganlah melayani”.

Perjumpaan dengan para karyawan pun sama saja. Saya belajar juga bagaimana merasakan menjadi seperti mereka, mendengarkan keluh kesah dan kesulitan-kesulitan mereka, tanpa harus menjadi romantis partisipatif.

Kedua, perjumpaan dengan umat Allah di paroki ini secara umum, dan secara khusus Orang Muda Katolik St. Gabriel, Pulogebang. Lewat mereka saya pun melihat dan memperkaya diri saya sendiri. Para OMK, legioner dan para misdinar adalah orang-orang yang hidup di tengah dunia, tidak melulu di lingkungan Gereja. Maka, mereka pun punya kesibukan pribadi pada hari-hari biasa. Bahkan hari libur banyak yang tersita juga oleh karena kegiatan-kegiatan tambahan di seputar kehidupan. Jika mereka masih mau aktif dan terlibat dalam kegiatan menggereja di sela-sela kehidupan harian, hal itu pun merupakan anugrah yang besar. Mengapa saya katakan anugerah? Allah-lah yang menggerakan iman mereka untuk tetap setia dalam kegiatan Gereja. Rahmat Allah juga yang akhirnya memberikan tambahan semangat dan moril yang dapat membuat mereka melampaui batas kemampuan fisik mereka. Meskipun lelah dan hari sudah mulai larut, mereka masih mau tetap hadir memenuhi undangan rapat dan kegiatan parokial lainnya.

Masih ingat di kenangan bagaimana saya bersama tim Dewan Mudika Harian merumuskan suatu visi dan misi agar OMK Pulogebang kembali aktif. Semua dimulai dengan mengadakan rencana kerja sebagai konsolidasi awal. Sejak saat itulah, Allah seperti membuka jalan agar kegiatan OMK kembali bergeliat. Kegiatan-kegiatan mulai diadakan untuk menjaring anak-anak muda ke arah yang positif, sebut saja ziarah 9 gua maria Jakarta, misa mudika wilayah sebagai sarana regenerasi, dan tablo jumat agung yang begitu menyita pikiran dan tenaga.

Lewat pengalaman ini lalu dapat saya tarik sesuai dengan apa yang dikatakan Konsili Vatikan II melalui Dei Verbum. Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya (art. 5). Gereja, dalam hal ini paroki tidak pernah memaksa mereka untuk aktif, terlibat dalam kegiatan-kegiatan Gereja. Gereja hanya bersifat mengajak, menawarkan dan menghimbau. Hal ini sama seperti hakikat wahyu yang berasal dari inisiatif Allah yang bebas dan sukarela untuk memaklumkan rahasia kehendak-Nya (DV. Art 2). Oleh karena itu, tindakan umat pun harus didasarkan kepada kebebasan dan sukarela, berasal dari iman pribadi yang akhirnya disatukan dalam iman Gereja yang kolektif. Konsekuensinya adalah tidak adanya pembenaran bagi Gereja (paroki) untuk memaksa, mengancam dan menuntut secara tidak adil umat paroki untuk ikut aktif dalam kegiatan paroki.

Lewat perjumpaan dengan orang muda pula, saya mengetahui apa yang menjadi pergulatan hidup mereka secara umum. Apalagi ketika mereka dihadapkan dengan gaya hidup orang muda sekarang ini, yang penuh dengan konsumerisme, hedonisme dan sebagainya. Pergaulan bebas anak muda khas jaman sekarang itulah yang akhirnya membuka mata saya – mungkin karena saya selama ini “mendekam” di balik tembok seminari. Merekalah membuat saya sadar bahwa kenyataannya dunia jaman sekarang tidak selamanya selalu baik. Saya belajar untuk tidak naif dan tidak lagi menganggap segala hal berjalan baik seperti adanya Tuhan menciptakan awal dunia ini. Dunia selalu penuh dengan dualisme, si baik dan si jahat. Orang-orang muda yang kebanyakan masih mencari jatidiri lantas terjebak di dalam dualitas seperti itu. Mereka sebenarnya memiliki kerinduan bersatu dengan Allah, tetapi gengsi, perasaan skrupel, kurangnya rasa percaya diri atau yang lainnya membuat mereka enggan untuk bertanya dan mengolahnya lebih lanjut.

Maka, pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana saya dapat melayani mereka saat mereka mengalami kehausan rohani, kerinduan untuk bersatu dengan Allah? Pertanyaan ini akhirnya membawa saya untuk terus-menerus menyempurnakan diri dalam hal rohani. Apalagi yang bisa saya berikan untuk mereka jika saya sendiri tidak mampu menjaga kehidupan rohani pribadi. Menjadi imam berarti menjadi pelayan rohani, pelayan sakramen, dan manusia pendoa. Maka, ketika domba-domba kehausan, gembalalah yang menjadi penunjuk jalan ke arah sumber air kehidupan, yakni Kristus sendiri.

Tidak hanya itu, perjumpaan dengan para lansia, orang sakit dan anak-anak juga membawa berkah tersendiri. Mereka adalah golongan orang-orang seringkali tidak mampu membalas ungkapan cinta dari orang yang memberikan. Dengan bersama merekalah saya belajar untuk mencintai tanpa harus mengharapkan balasan. Saya mampu untuk membuat diri saya bahagia tanpa harus terlebih dahulu memenuhi apa yang menjadi keinginan pribadi. Dengan melihat orang yang saya bantu bahagia dan sukacita, saya pun bahagia. Saya juga dapat semakin menyelami spiritualitas hidup selibat. Selibat akhirnya bukan lagi berhenti pada konsep tidak menikah, hidup sendiri. Lewat pengalaman perjumpaan, akhirnya saya menghayati hidup selibat sebagai sebuah cara hidup mempersembahkan diri kepada Allah dengan mencintai dan mencintai banyak orang tanpa terbagi. Tidak lagi terpaku untuk mencari cinta-cinta eksklusif sebagai pelarian, yang akhirnya menghasilkan egoisme pribadi.

Pengalaman perjumpaan ini juga membawa saya untuk semakin dibentuk menjadi pribadi yang ekaristis. Pribadi ekaristis mengambil semangat dari spiritualitas ekaristi itu sendiri. Kita tentu tahu akan kisah Yesus menggandakan roti, dan memberi makan lima ribu orang laki-laki. Yesus mengucap syukur, memecah-mecah roti dan akhirnya membagi-bagi roti itu demi kepentingan orang banyak. Saya belajar untuk menerima diri bahwa saya adalah orang yang dipilih, dikhususkan dari anak-anak muda kebanyakan. Oleh karena itu saya juga diajak untuk selalu hidup sebagai orang-orang yang terpilih. Selain itu, menjadi pribadi yang ekaristis mengarahkan saya untuk mengucap syukur dalam kondisi apapun, khususnya saat-saat ketika saya mengalami peristiwa yang sama sekali tidak bisa dimengerti dengan logika berpikir. Dan yang terakhir, yang paling sulit adalah menjadi pribadi yang mau dipecah-pecah dibagi untuk banyak orang. Saya yang sekarang bukan lagi milik orang tertentu, golongan tertentu, melainkan milik seluruh umat Allah yang saya layani.

Ketiga, dan yang paling utama adalah perjumpaan dengan Kristus sendiri. Selama satu tahun di tempat ini saya mengalami perjumpaan dengan Kristus yang intim, yang harus dilalui dalam kesendirian dan kesepian. Pada saat kesepian seringkali seseorang terbawa untuk mengobati dan mengisi kekosongan itu dengan hal-hal yang lain. Mungkin fenomena ini hanya bisa ditemui dalam masyarakat kota besar seperti Jakarta. Ketika mereka sepi, lelah dengan pekerjaan, mereka butuh sesuatu yang sifatnya rekreatif untuk menjadi sarana penyegaran kembali. Namun, sayangnya rekreasi itu hanya berhenti dalam tataran fisik dan mental, tidak dalam hal rohani. Maka tak heran situasi ini akan memunculkan siklus yang kurang lebih sama setiap harinya. Bekerja, kosong, lalu rekreasi begitu selanjutnya tanpa habis-habisnya. Orang lupa bahwa saat kesepian atau kekosongan adalah momen yang paling berharga bagi diri setiap manusia. Pada situasi itulah manusia dapat bertemu muka, pribadi antar pribadi dengan dirinya sendiri. Manusia punya waktu mengadakan refleksi dan bercermin terhadap dirinya sendiri. Inilah saat ketika manusia benar-benar telanjang, menanggalkan topeng-topeng yang selama ini dipakai dalam kehidupan bermasyarakat. Tuhan pun hadir pada saat itu. Maka, bertemanlah dengan kesepian. Bersahabatlah dengan kekosongan, karena justru pada saat itulah kita akan diberi isi yang begitu melimpah. Berdiamlah di dalam doa bersama Tuhan.

Dalam suasana seperti itulah, saya semakin disadari bahwa Kristuslah pribadi yang selalu mau ada bersama dengan saya. Seorang pribadi yang selalu menawarkan diri untuk menemani di saat-saat saya mengalami kesepian. Pribadi yang selalu mau membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan saya berkeluh kesah (ketika banyak orang lain berkeluh kesah kepada saya, tetapi saya tidak punya tempat untuk menuangkannya). Ia yang selalu percaya akan kapasitas diri saya bahwa saya mampu, di saat orang lain meragukan. Pribadi yang mau menerima kekurangan diri saya dan mengerti, di saat tidak ada orang yang memahami. Maka, bagi saya, doa, adalah saat di mana saya bertemu antar pribadi dengan Yesus sendiri. Ia adalah my best buddy ever, sahabat terbaik di antara yang terbaik, yang saya percaya bahwa Ia tidak akan pernah meninggalkan saya.

-0-

Seorang imam adalah saudara di tengah-tengah saudara-saudara lainnya sebagai murid-murid Kristus. Ia adalah anggota tubuh Kristus yang diperintah untuk tubuh yang sama. Imam dipilih dari antara manusia dan ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, bergaul dengan orang-orang lain bagaikan dengan saudara-saudari mereka. Seorang imam tidak akan mampu melayani sesama, seandainya mereka tetap asing terhadap kehidupan serta situasi sesama.

Menjadi imam adalah orang yang dikhususkan bagi Allah. Jabatan Imam lantas bukan untuk mengkhususkan diri, lalu menarik diri dari kehidupan dunia. Justru karena seorang imam lahir dari tengah-tengah umat, ia harus kembali ke dalam pergulatan kehidupan umatnya. Setelah sekitar 10 tahun mengenyam pendidikan di seminari dan akhirnya ditahbiskan, seorang imam akan dikembalikan kepada umat untuk ada bersama-sama mereka. Status imam menjadi sebuah sarana untuk membawa umat sampai kepada sang tujuan itu sendiri, Allah.

Oleh karena itulah, saya merasa bersyukur mendapatkan pengalaman orientasi pastoral di paroki ini, dan mengalami perjumpaan langsung dengan Allah lewat orang lain dengan beragam sifatnya. Perasaan gembira, sukacita, sakit, sedih, marah, menangis dan seluruh ungkapan emosional pernah saya keluarkan di tempat ini. Semuanya itu hanya sebagai ungkapan bahwa saya berusaha terlibat penuh, seluruh pribadi, rasa dan karsa dalam dinamika pastoral paroki. Saya hanya bisa mengucapkan terimakasih untuk semua umat yang telah membantu saya selama satu tahun di tempat ini. Saya mengucapkan maaf jika saya pernah berbuat kesalahan kepada siapa saja, dengan perkataan maupun perbuatan di hari-hari yang lalu. Kita saling mendoakan dan semoga Tuhan mempertemukan kita kembali. Terimakasih karena aku boleh ada bersama-sama dengan kamu.