05 Juni 2011

Me Vs Hape



Saya menggunakan istilah ‘hape’ untuk menunjukkan satu benda yang memiliki tiga kekhasan, mobile phone (telepon yang bisa dibawa kemana-mana), celular phone (Telepon yang menggunakan kartu selular), dan handphone (Telepon yang bisa digenggam dengan tangan).

Hape: pengalaman berahmat
Saya pernah punya pengalaman berahmat dengan sebuah benda yang bernama hape. Pengalaman ini terjadi ketika saya studi filosofan di STF Driyarkara, Jakarta. Saat saya filosofan memang tidak ada aturan tertulis bahwa para frater STKAJ tidak diperbolehkan membawa hape. Hanya aturan lisan dari romo unit yang menegaskan pelarangan penggunaan hape semasa filosofan. Namun, saya kala itu ‘mbandel’ dan secara diam-diam membawa hape selama proses pendidikan di wisma cempaka.

Hape yang saya pakai waktu itu benar-benar hape tanpa antena (canggih pada zamannya) pertama yang muncul, yakni Nokia 3210. Kala itu, saya rasakan bahwa komunikasi dengan orang luar menjadi lebih mudah. Entah yang sifatnya urgen maupun yang sama sekali tidak penting.

Banyak pengalaman terjadi ketika saya memegang hape saat itu. Misalnya saja, pernah suatu kali saya memberikan rekoleksi kepada mudika (OMK) di salah satu paroki Jakarta. Selama proses persiapan itu saya memang berkomunikasi dengan panitia dari mereka melalui hape. Demi mudah dan lancarnya saja, saya pikir demikian. Setelah proses rekoleksi selesai saya justru sering mendapatkan telepon “tak diundang” di hape saya itu. Bisa jadi karena nomor saya sudah disebar-sebarkan. Awalnya saya tidak menolak, apalagi yang didengar semuanya suara sopran (alias yang nelpon mudika cewe). Tapi ada satu orang mudika yang secara bertubi-tubi (hampir tiap malam) menelpon saya ke hape itu. Dari awalnya biasa saja, akhirnya saya merasa terganggu. Hingga suatu saat saya merasa perlu mengambil sikap. Dengan tegas saya bilang pada dia (melalui hape) bahwa saya merasa terganggu dengan telepon dan sms yang bertubi-tubi itu. Untunglah mudika ini mau mengerti. Dia minta maaf. Besoknya tidak ada lagi telepon atau sms darinya. Saya lega.

Satu hari, dua hari, tiga hari, saya merasa sepertinya lama kelamaan ada yang hilang dalam kehidupan saya. Ada yang aneh pada diri saya. Tidak ada lagi sms masuk. Tidak ada lagi telepon malam-malam. Hari menjadi lebih sepi. Ketika saya pergi keluar kamar, umumnya saya tinggalkan hape itu di kamar. Bisa saya tempatkan di dalam lemari, di antara tumpukan baju. Atau, di bawah bantal atau kasur. Dan setiap kali saya kembali ke kamar, satu hal yang pasti saya lakukan adalah mencari hape itu dan mengecek apakah ada sms atau telepon (miskol) yang masuk. Jika ada, muncul perasaan senang. Jika tidak, ada perasaan kecewa. Bahkan saya pernah menulis dalam diary saya kata-kata demikian, “Please dooong, ada yang sms gw! Siapa aja deh..”. Saat itu pengalaman ini masih berlalu begitu saja dan belum saya olah dalam-dalam. Selama tiga tahun, sejak tingkat 1 sampai 3 filosofan saya terkungkung dalam kebiasaan seperti itu. Selama itu pula saya hidup dalam kesepian yang disebabkan oleh hape. Saya lebih suka di kamar yang mengakibatkan kurang mendalamnya komunikasi riil dengan rekan calon imam. Singkatnya, saya terikat dengan benda yang bernama hape ini. Dan, semua itu saya lakukan tanpa sadar.

Ketidakberesan dan keanehan pada diri saya itu baru bisa saya angkat dalam titik kesadaran pada kesempatan retret akhir tahun tingkat 3. Pada momen itu saya disadarkan bahwa saya telah salah arah. Dalam keheningan retret saya melihat bahwa keputusan saya untuk membawa hape selama ini salah. Itu yang pertama. Yang kedua, saya menyadari bahwa saya sudah tidak jujur dengan diri saya sendiri, dan terutama kepada romo unit yang sudah memberikan kebebasan dan kepercayaan kepada saya. Saat itu saya menyesal dan berniat untuk jujur kepada romo unit. Tidak ada keraguan dan ketakutan dalam diri saya saat itu bahwa nanti saya akan dihukum atau dikeluarkan ketika mengaku membawa hape. Yang jelas, sepulang dari retret saya langsung bertemu dengan romo unit dan mengaku bahwa saya selama ini telah membawa hape. Tidak ada yang memaksa, tidak ada yang menyuruh. Saya mengaku murni karena teguran suara hati yang saya dengar dalam keheningan. Lalu, romo unit menyuruh saya untuk memulangkan hape itu ke rumah dan saya diminta tidak membawa lagi. Saya menuruti permintaannya.

Tingkat 4 filosofan yang sekaligus masa penulisan skripsi saya lalui murni tanpa kehadiran hape. Sejujurnya, pada awalnya saya merasa berat dan malah jadi terganggu. Kebiasaan saya mengecek dan melihat hape ketika kembali ke kamar masih ada. Namun bedanya, sekarang hapenya sudah tidak ada. “Oh iya, lupa, sekarang sudah tidak ada”, adalah perkataan yang sering saya lontarkan dalam hati saat itu. Lagi-lagi, perasaan “kehilangan” hape masih muncul pada awal-awal tingkat 4. Kesepian karena hape masih ada. Namun, karena barangnya sendiri tidak ada saya tidak melakukan tindakan lebih jauh. Bandingkan ketika masih memegang hape. Ketika kesepian, tanpa disuruh jari-jari ini langsung menekan phonebook dan melihat nama-nama di dalamnya, seraya berpikir siapa yang akan saya telepon atau sms.

Lama-kelamaan saya menjadi terbiasa dan mulai menyadari ternyata saya bisa hidup tanpa hape. Kesepian yang seringkali muncul saya ubah menjadi sarana untuk menciptakan keheningan. Ketika saya kangen sama orangtua atau orang lain, alih-alih membuka hape (karena memang tidak ada lagi) saya memilih untuk berdoa rosario. Berkomunikasi dengan mereka lewat perantaraan doa.

Ketika memasuki masa TOP saya diperbolehkan untuk menggunakan hape. Saya menggunakan kesempatan itu karena memang saya membutuhkan. Apalagi, dengan suasana TOP di sekolah yang penuh dengan kegiatan, di dalam maupun di sekolah, waktu menjadi satu hal yang berharga. Berkat pengalaman bergumul dengan hape di tahun-tahun sebelumnya saya menyadari relasi saya dengan hape menjadi berbeda. Sejak saat itu, meski saya membawa hape saya bisa melepaskan diri dari keterikatan dengan hape. Ketika kesepian saya tidak lagi mencari-cari nomor orang di phonebook. Saya malah seringkali lupa menaruh hape. Bahkan hape saya beralih fungsi, dari alat komunikasi menjadi alat reminder dan weker. Yang jelas, bergulat dengan hape telah menjadikan pengalaman berahmat. Dengan sarana hape – meski bukan satu-satunya – saya mampu mengolah diri mengatasi kelekatan-kelekatan tak teratur.

Hape: ancaman sekaligus peluang.
Hape diciptakan bukannya bebas nilai. Ada nilai-nilai yang terdapat di belakang hape itu. Antara lain, memudahkan hidup, melancarkan proses komunikasi di antara orang yang berjauhan, dan yang terutama adalah nilai konsumerisme. Untuk mendapatkan hape, orang harus membeli. Sudah beli hape, orang harus beli pulsa. Belum lagi, perkembangan model hape baru dari segala jenis merk dan type. Perkembangan itu meracuni orang harus segera update untuk memilikinya. Dengan demikian hape juga dapat menjadi penanda status sosial. Mereka yang memiliki model hape yang selalu baru dan mutakhir bisa dikatakan berasal dari golongan menengah ke atas (high-end). Misalnya saja Iphone, Blackberry storm, Sony Ericsson Xpreria Arc, LG Optimus One 2X, dsb. Pemilik hape semacam itu tentu berasal dari kelas yang berbeda dari pengguna hape murah yang bisa didapatkan dengan harga 200rb.

Seringkali orang juga tidak menyadari efek negatif dari hape ini. Efek negatifnya adalah persis seperti yang saya alami di atas. Orang jadi tidak tahan duduk diam seorang diri. Orang menjadi takut dengan kesepian. Tanpa hape, seseorang seakan-seakan setengah nyawanya hilang. Hal ini bisa dilihat jelas, ketika saya mendampingi retret salah satu SMA dari Jakarta. Pada awal retret saya menyuruh mereka untuk mengumpulkan hape kepada pendamping. Spontan, raut wajah mereka berubah. Seperti roh mereka diambil dari badan. Kata-kata memang saya agak sedikit berlebihan, tapi itulah kenyataannya.

Lain lagi, hape bisa menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Orang bisa bersama-sama dalam satu ruangan, tapi tidak terjadi interaksi satu sama lain. Interaksi terjadi justru dibangun melalui hape, membuka phonebook, list BBM, atau browser sembari berpikir apa/siapa yang akan saya kontak saat ini. Sadar atau tidak, hape dapat memberikan ancaman demikian. Manusia menjadi tergantung terhadap ciptaannya sendiri. Ia menjadi lemah dan mentalitas pun berubah.

Hape sendiri bukanlah sekedar ancaman. Ia juga dapat dijadikan peluang sebagai salah satu sarana seseorang untuk mengolah diri. Hal itu terjadi pada diri saya. Ketika seseorang mampu menyadari kelekatannya terhadap hape dan karena itu lalu mengambil sikap. Tapi jelas peluang ini bisa muncul jika pribadi seorang tersebut mau “bangun” dan sadar terhadap keanehan yang terjadi pada dirinya. Peluang ini tidak akan terjadi ketika seseorang diam saja dan dininabobokan oleh hapenya.

So, bagaimana relasimu dengan hapemu???

1 komentar:

  1. oh iyaa..gw inget tuh nokia 3120 warna biru tua klo gak salah hahaha

    BalasHapus