06 Juni 2011

Apa benar Allah orang Katolik ada tiga? -part 1-

Allah Tritunggal, Trinitas, atau apapun sebutannya ternyata memang telah menjadi konsep teologis yang sulit dimengerti. Sulit, tidak hanya bagi kalangan agama lain, tapi juga dari umat kita sendiri. Coba sekarang saya tanya kepada anda, bagaimana menjelaskan Allah Tritunggal? Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus? Kalo gitu Allahnya ada tiga dong? Bersyukurlah bagi kita yang bisa memahami misteri agung ini. Namun sayangnya, banyak orang tidak mau ambil pusing dengan hal ini dan memilih untuk membahas yang lain saja. Ada juga orang yang karena tidak mengerti lalu meninggalkan imannya lalu pindah ke keyakinan lain yang hanya mengenal konsep keesaan Allah yang mutlak. Oleh karena itu, tulisan ini adalah sebuah usaha dari saya sendiri, sebagai yang belajar teologi untuk menjelaskan (semoga) dengan lebih sederhana tentang Allah Tritunggal.

Masalah bahasa
Saya mulai dengan sebuah permasalahan yang sering membuat orang salah kaprah. Tentu kita masih ingat fenomen yang pernah terjadi ketika salah satu negara melarang penggunaan kata “Allah” bagi agama lain. Kata “Allah” hanya boleh digunakan oleh agama tertentu saja. Bagi saya ini lucu. Orang tidak lagi bisa lagi memahami bahwa bahasa juga termasuk simbol. Kita menggunakan bahasa/kata untuk mengartikan apa yang ingin kita tuju. Misalnya, kata “Manusia” mau menunjuk pada mahkluk hidup yang berakal budi – (tentu definisi ini tidak cukup karena manusia terlalu kompleks untuk didefinisikan). Di indonesia disebut “manusia”, di Amerika disebut “human”. Keduanya merupakan kata yang berbeda tapi menunjuk pada benda yang sama. Tapi “manusia”, “human” atau apapun sebutannya bukanlah menjadi nama diri benda yang dimaksud. Anda adalah manusia, tapi mempunyai nama diri misalnya, Anton, Budi, Rani, dsb.

Sama dengan Allah. Kita akan salah kaprah kalau menyebut Allah sebagai nama diri. Allah tidak punya nama!!! Waktu Musa di utus Tuhan untuk membebaskan bangsa Israel (Kel 3:14), Musa bertanya kepada-Nya, “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? -- apakah yang harus kujawab kepada mereka?"… Musa bertanya nama Tuhan, supaya Musa bisa jawab kalo ia ditanya oleh orang Israel. Tapi apa jawab Tuhan? Firman Allah kepada Musa: "AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." Lewat perikop ini kita bisa tarik kesimpulan bahwa Allah memang tidak memiliki nama diri, dan tidak boleh dinamakan!... Mengapa? Karena ketika seseorang memberi nama diri terhadap sesuatu berarti ia telah menguasainya. Cuma orangtua yang berhak memberi anaknya nama diri. Karena anak sepatutnya “dikuasai” oleh orangtuanya. Atau, suatu kali anda di keramaian, dan banyak orang asing bagi anda. Sampai suatu saat, anda melihat seorang yang anda kenal, lalu memanggil namanya. Apa yang terjadi? Dia akan menengok, sedangkan yang lain tidak. Dengan begitu anda telah menguasai dia karena anda telah berhasil membuatnya menengok ke arah anda. Lain akan terjadi kalo anda memanggilnya dengan sebutan: “eh eh eh…” boro-boro nengok, melirik pun tidak.

Jadi sekali lagi Allah bukanlah nama diri. Menamadirikan Allah sama saja dengan kita sudah menguasai Allah dan menjadikannya milik kita. Padahal Allah bukan milik siapapun. Dia adalah yang luas, yang tak terbatas, dan tak terjangkau. “Allah” adalah sebutan yang mau menunjuk pada pribadi yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi dan segala isinya. Di Inggris disebut “God”, orang Yahudi menyebut “Adonai”, Di Jawa disebut “Gusti Allah”, tapi tetap yang dimaksud adalah pribadi yang sama.
to be continued)

05 Juni 2011

Me Vs Hape



Saya menggunakan istilah ‘hape’ untuk menunjukkan satu benda yang memiliki tiga kekhasan, mobile phone (telepon yang bisa dibawa kemana-mana), celular phone (Telepon yang menggunakan kartu selular), dan handphone (Telepon yang bisa digenggam dengan tangan).

Hape: pengalaman berahmat
Saya pernah punya pengalaman berahmat dengan sebuah benda yang bernama hape. Pengalaman ini terjadi ketika saya studi filosofan di STF Driyarkara, Jakarta. Saat saya filosofan memang tidak ada aturan tertulis bahwa para frater STKAJ tidak diperbolehkan membawa hape. Hanya aturan lisan dari romo unit yang menegaskan pelarangan penggunaan hape semasa filosofan. Namun, saya kala itu ‘mbandel’ dan secara diam-diam membawa hape selama proses pendidikan di wisma cempaka.

Hape yang saya pakai waktu itu benar-benar hape tanpa antena (canggih pada zamannya) pertama yang muncul, yakni Nokia 3210. Kala itu, saya rasakan bahwa komunikasi dengan orang luar menjadi lebih mudah. Entah yang sifatnya urgen maupun yang sama sekali tidak penting.

Banyak pengalaman terjadi ketika saya memegang hape saat itu. Misalnya saja, pernah suatu kali saya memberikan rekoleksi kepada mudika (OMK) di salah satu paroki Jakarta. Selama proses persiapan itu saya memang berkomunikasi dengan panitia dari mereka melalui hape. Demi mudah dan lancarnya saja, saya pikir demikian. Setelah proses rekoleksi selesai saya justru sering mendapatkan telepon “tak diundang” di hape saya itu. Bisa jadi karena nomor saya sudah disebar-sebarkan. Awalnya saya tidak menolak, apalagi yang didengar semuanya suara sopran (alias yang nelpon mudika cewe). Tapi ada satu orang mudika yang secara bertubi-tubi (hampir tiap malam) menelpon saya ke hape itu. Dari awalnya biasa saja, akhirnya saya merasa terganggu. Hingga suatu saat saya merasa perlu mengambil sikap. Dengan tegas saya bilang pada dia (melalui hape) bahwa saya merasa terganggu dengan telepon dan sms yang bertubi-tubi itu. Untunglah mudika ini mau mengerti. Dia minta maaf. Besoknya tidak ada lagi telepon atau sms darinya. Saya lega.

Satu hari, dua hari, tiga hari, saya merasa sepertinya lama kelamaan ada yang hilang dalam kehidupan saya. Ada yang aneh pada diri saya. Tidak ada lagi sms masuk. Tidak ada lagi telepon malam-malam. Hari menjadi lebih sepi. Ketika saya pergi keluar kamar, umumnya saya tinggalkan hape itu di kamar. Bisa saya tempatkan di dalam lemari, di antara tumpukan baju. Atau, di bawah bantal atau kasur. Dan setiap kali saya kembali ke kamar, satu hal yang pasti saya lakukan adalah mencari hape itu dan mengecek apakah ada sms atau telepon (miskol) yang masuk. Jika ada, muncul perasaan senang. Jika tidak, ada perasaan kecewa. Bahkan saya pernah menulis dalam diary saya kata-kata demikian, “Please dooong, ada yang sms gw! Siapa aja deh..”. Saat itu pengalaman ini masih berlalu begitu saja dan belum saya olah dalam-dalam. Selama tiga tahun, sejak tingkat 1 sampai 3 filosofan saya terkungkung dalam kebiasaan seperti itu. Selama itu pula saya hidup dalam kesepian yang disebabkan oleh hape. Saya lebih suka di kamar yang mengakibatkan kurang mendalamnya komunikasi riil dengan rekan calon imam. Singkatnya, saya terikat dengan benda yang bernama hape ini. Dan, semua itu saya lakukan tanpa sadar.

Ketidakberesan dan keanehan pada diri saya itu baru bisa saya angkat dalam titik kesadaran pada kesempatan retret akhir tahun tingkat 3. Pada momen itu saya disadarkan bahwa saya telah salah arah. Dalam keheningan retret saya melihat bahwa keputusan saya untuk membawa hape selama ini salah. Itu yang pertama. Yang kedua, saya menyadari bahwa saya sudah tidak jujur dengan diri saya sendiri, dan terutama kepada romo unit yang sudah memberikan kebebasan dan kepercayaan kepada saya. Saat itu saya menyesal dan berniat untuk jujur kepada romo unit. Tidak ada keraguan dan ketakutan dalam diri saya saat itu bahwa nanti saya akan dihukum atau dikeluarkan ketika mengaku membawa hape. Yang jelas, sepulang dari retret saya langsung bertemu dengan romo unit dan mengaku bahwa saya selama ini telah membawa hape. Tidak ada yang memaksa, tidak ada yang menyuruh. Saya mengaku murni karena teguran suara hati yang saya dengar dalam keheningan. Lalu, romo unit menyuruh saya untuk memulangkan hape itu ke rumah dan saya diminta tidak membawa lagi. Saya menuruti permintaannya.

Tingkat 4 filosofan yang sekaligus masa penulisan skripsi saya lalui murni tanpa kehadiran hape. Sejujurnya, pada awalnya saya merasa berat dan malah jadi terganggu. Kebiasaan saya mengecek dan melihat hape ketika kembali ke kamar masih ada. Namun bedanya, sekarang hapenya sudah tidak ada. “Oh iya, lupa, sekarang sudah tidak ada”, adalah perkataan yang sering saya lontarkan dalam hati saat itu. Lagi-lagi, perasaan “kehilangan” hape masih muncul pada awal-awal tingkat 4. Kesepian karena hape masih ada. Namun, karena barangnya sendiri tidak ada saya tidak melakukan tindakan lebih jauh. Bandingkan ketika masih memegang hape. Ketika kesepian, tanpa disuruh jari-jari ini langsung menekan phonebook dan melihat nama-nama di dalamnya, seraya berpikir siapa yang akan saya telepon atau sms.

Lama-kelamaan saya menjadi terbiasa dan mulai menyadari ternyata saya bisa hidup tanpa hape. Kesepian yang seringkali muncul saya ubah menjadi sarana untuk menciptakan keheningan. Ketika saya kangen sama orangtua atau orang lain, alih-alih membuka hape (karena memang tidak ada lagi) saya memilih untuk berdoa rosario. Berkomunikasi dengan mereka lewat perantaraan doa.

Ketika memasuki masa TOP saya diperbolehkan untuk menggunakan hape. Saya menggunakan kesempatan itu karena memang saya membutuhkan. Apalagi, dengan suasana TOP di sekolah yang penuh dengan kegiatan, di dalam maupun di sekolah, waktu menjadi satu hal yang berharga. Berkat pengalaman bergumul dengan hape di tahun-tahun sebelumnya saya menyadari relasi saya dengan hape menjadi berbeda. Sejak saat itu, meski saya membawa hape saya bisa melepaskan diri dari keterikatan dengan hape. Ketika kesepian saya tidak lagi mencari-cari nomor orang di phonebook. Saya malah seringkali lupa menaruh hape. Bahkan hape saya beralih fungsi, dari alat komunikasi menjadi alat reminder dan weker. Yang jelas, bergulat dengan hape telah menjadikan pengalaman berahmat. Dengan sarana hape – meski bukan satu-satunya – saya mampu mengolah diri mengatasi kelekatan-kelekatan tak teratur.

Hape: ancaman sekaligus peluang.
Hape diciptakan bukannya bebas nilai. Ada nilai-nilai yang terdapat di belakang hape itu. Antara lain, memudahkan hidup, melancarkan proses komunikasi di antara orang yang berjauhan, dan yang terutama adalah nilai konsumerisme. Untuk mendapatkan hape, orang harus membeli. Sudah beli hape, orang harus beli pulsa. Belum lagi, perkembangan model hape baru dari segala jenis merk dan type. Perkembangan itu meracuni orang harus segera update untuk memilikinya. Dengan demikian hape juga dapat menjadi penanda status sosial. Mereka yang memiliki model hape yang selalu baru dan mutakhir bisa dikatakan berasal dari golongan menengah ke atas (high-end). Misalnya saja Iphone, Blackberry storm, Sony Ericsson Xpreria Arc, LG Optimus One 2X, dsb. Pemilik hape semacam itu tentu berasal dari kelas yang berbeda dari pengguna hape murah yang bisa didapatkan dengan harga 200rb.

Seringkali orang juga tidak menyadari efek negatif dari hape ini. Efek negatifnya adalah persis seperti yang saya alami di atas. Orang jadi tidak tahan duduk diam seorang diri. Orang menjadi takut dengan kesepian. Tanpa hape, seseorang seakan-seakan setengah nyawanya hilang. Hal ini bisa dilihat jelas, ketika saya mendampingi retret salah satu SMA dari Jakarta. Pada awal retret saya menyuruh mereka untuk mengumpulkan hape kepada pendamping. Spontan, raut wajah mereka berubah. Seperti roh mereka diambil dari badan. Kata-kata memang saya agak sedikit berlebihan, tapi itulah kenyataannya.

Lain lagi, hape bisa menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Orang bisa bersama-sama dalam satu ruangan, tapi tidak terjadi interaksi satu sama lain. Interaksi terjadi justru dibangun melalui hape, membuka phonebook, list BBM, atau browser sembari berpikir apa/siapa yang akan saya kontak saat ini. Sadar atau tidak, hape dapat memberikan ancaman demikian. Manusia menjadi tergantung terhadap ciptaannya sendiri. Ia menjadi lemah dan mentalitas pun berubah.

Hape sendiri bukanlah sekedar ancaman. Ia juga dapat dijadikan peluang sebagai salah satu sarana seseorang untuk mengolah diri. Hal itu terjadi pada diri saya. Ketika seseorang mampu menyadari kelekatannya terhadap hape dan karena itu lalu mengambil sikap. Tapi jelas peluang ini bisa muncul jika pribadi seorang tersebut mau “bangun” dan sadar terhadap keanehan yang terjadi pada dirinya. Peluang ini tidak akan terjadi ketika seseorang diam saja dan dininabobokan oleh hapenya.

So, bagaimana relasimu dengan hapemu???

03 Juni 2011

"Menurut kamu, siapakah AKU ini?"

Menanggalkan “pakaian” Yesus

Yesus saat ini telah menjadi figur idola. Tidak ada figur lain dalam sejarah Barat yang disematkan dengan beragam status. Beberapa dekade setelah kematian Yesus, muncul kisah-kisah tentang kelahiran-Nya. Pada akhir abad pertama, diri-Nya digelari dengan pelbagai macam status: Anak Allah, Firman yang menjadi manusia, Sang Roti Kehidupan, Terang Bangsa-Bangsa, Dia yang akan datang kembali sebagai Tuhan.

Beribu tahun sesudahnya, Yesus mendominasi kultur budaya Barat. Hal tersebut dapat dilihat dari fenomena yang terjadi: agama dan devosi, seni, musik dan arsitektur, pemikiran intelektual dan norma-norma etika, bahkan dari sisi politis. Dengan kata lain, berabad-abad lamanya Yesus telah menjadi figur sentral bagi sebagian orang di dunia, setidaknya di Barat.

Seluruh gelar dan paradigma manusia sepanjang sejarah seumpama pakaian yang dikenakan Yesus. Kitab Suci pun menampilkan “pakaian-pakaian” tersebut. Kita tentu tahu bagaimana orang-orang di Yerusalem bersukaria dan ingin menjadikan Yesus sebagai raja, sama seperti Daud dengan kerajaannya. Mereka melihat Yesus sebagai mesias dalam arti politis. Bahkan Petrus pun berpikir demikian. Ketika ia ditanya oleh Yesus, “Siapakah Aku ini?” , Simon Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” . Lalu Yesus melarang para murid-murid-Nya untuk memberitahukan kepada siapapun siapa diri-Nya. Kisah selanjutnya, masih dalam konteks yang sama, Yesus menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya. Petrus malah menegor Yesus dan mengatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi. Tegoran Petrus ini ditanggapi oleh Yesus dengan keras sebagaimana digambarkan dalam Matius 16:23. Yesus lantas menjelaskan mesias seperti apakah diri-Nya.

Menanggalkan pakaian Yesus adalah membebaskan Yesus dari gelar-gelar dan pengharapan yang disematkan orang kepada-Nya. Satu momen yang paling pas bagi kita untuk mengerti dan melihat sosok Yesus apa adanya adalah ketika Ia disalibkan. Melalui rupa Yesus yang disalib tanpa pakaian kita dapat melihat arti dari mesias yang Ia maksud. Dari sana pula terjawab identitas, tujuan dan pesan-Nya secara jelas. Ia diutus ke dunia dan wafat di salib sebagai rekonsiliasi antara Allah dan umat manusia. Pesan-Nya adalah mengundang para pendengar-Nya untuk percaya akan apa yang dikatakan tentang diri-Nya dan kebenaran tentang keselamatan yang ia tawarkan. Hanya dua pribadi yang kala itu bisa menjawab undangan-Nya, kepala pasukan dan salah satu penjahat yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus.

Sangat sulit untuk mencari sumber detail biografi Yesus. Sumber utama yang dapat dijadikan acuan tentu saja adalah keempat Injil. Namun, melihat siapa Yesus dari keempat Injil akan membawa problema tersendiri. Apakah Injil dapat dijadikan sebagai biografi Yesus? Jika membandingkan dengan struktur tulisan biografi sekarang ini, keempat Injil menjadi sebuah informasi yang tidak lengkap. Tulisan biografi sendiri baru muncul sekitar abad 9. Sebagai sebuah perbandingan, tulisan biografi biasanya memuat sejarah hidup seseorang dari masa kecil hingga present time. Di dalam isinya terdapat cerita hidup seseorang, di mana ia belajar dan tinggal, serta pemikiran-pemikiran yang ia hasilkan sepanjang hidupnya.

Keempat Injil sulit untuk dijadikan sebagai biografi Yesus karena mereka tidak menampilkan proses pendidikan Yesus pada tahun-tahun pertama kehidupan-Nya. Kehidupan Yesus selama 30 tahun awal tidak ditampilkan. Bahkan keempat Injil sendiri pun menyajikan gambaran Yesus yang berbeda satu sama lain.

Dalam Matius, Yesus digambarkan sebagai guru orang Israel. Gambaran Yesus ini muncul sebagai hasil refleksi iman komunitas Matius yang beranggotakan orang Kristen Yahudi yang percaya bahwa Yesus adalah mesias.

Dalam Lukas, Yesus digambarkan dekat dengan orang-orang miskin, yang tersingkir, orang asing, perempuan dan orang non-Yahudi.

Injil Markus menampilkan Yesus layaknya singa yang mengaum. Ia menyembuhkan banyak orang, mengajar, menampilkan mukjizat dan memberitakan Kerajaan Allah sudah dekat.

Injil Yohanes justru mengambil gambaran yang sedikit berbeda dari ketiga Injil Sinoptik. Siapa Yesus menurut Yohanes dapat dilihat dalam awal Injilnya (Yoh 1). Yesus adalah Firman yang awalnya bersama-sama dengan Allah, yang terlibat sejak awal penciptaan dan mengambil rupa manusia untuk tinggal bersama kita. Oleh karena itu, Injil Yohanes lebih banyak berisi teologi, lebih banyak refleksi iman mengenai Yesus – sebagaimana terungkap bahwa Yesus dan Bapa adalah satu (Yoh 10:30).

Itu baru keempat Injil, belum lagi Yesus versi Paulus. Jika saya lanjutkan, saya kira tulisan ini akan menjadi sebuah skripsi tentang kristologi alkitabiah.

Jelas bahwa gambaran Yesus dalam Kitab Suci merupakan interpretasi seorang/komunitas sesuai dengan konteksnya masing-masing. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Kitab Suci sendiri adalah sebuah kristologi kontekstual. Pertanyaan “menurut kamu, siapakah Aku ini?” akan menjadi sebuah proses yang tidak pernah selesai. Oleh karena itu, kalau saat ini Yesus berada di depan anda dan berkata, "Menurut kamu, siapakah Aku ini?", Jawaban apa yang anda berikan??

02 Juni 2011

Does God need The Church? - sedikit berteologi -

Pertanyaan apakah ‘Allah membutuhkan Gereja?’ dapat selalu mengundang perdebatan. Diskursus tentang pertanyaan tersebut akan mempertanyakan Apakah Allah yang Mahadigdaya itu membutuhkan (persekutuan) manusia dalam berkarya. Bukankah hal tersebut bertentangan dengan konsep Allah Mahasegalanya, yang pada diri-Nya sendiri mampu mengatasi hal apapun termasuk masalah-masalah manusia. Pertanyaan ini pula yang menghadirkan diskursus filsafat mengenai teodisea, yakni tentang keadilan Allah. Kalau memang Allah Mahakuasa, mengapa masih ada kejahatan dan keburukan di dunia ini. Tentu banyak jawaban muncul menghadapi persoalan seperti itu. Tulisan ini adalah sedikit interpretasi saya untuk menjawab pertanyaan Apakah Allah membutuhkan Gereja? Mengapa Allah membutuhkan Gereja?

Allah tidak terlihat, sangat luas dan tak terbatas untuk dipahami akal budi manusia. Namun, karena cinta kasih-Nya ia berkenan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, ciptaan-Nya. Untuk masuk dunia manusia dan berziarah bersama manusia, Allah tidak mungkin turun langsung dengan rupa ilahinya. Jika itu terjadi maka dunia akan hancur karena terlalu rapuh untuk menerima ke-Mahakuasaan Allah. Untuk itu Ia mengambil rupa seorang manusia, lahir, hidup, berbuat dan berkata-kata selayaknya seorang manusia. Manusia itu adalah Yesus. Ia adalah firman Allah yang menjadi manusia (Yoh 1). Ia sama seperti manusia kecuali dalam hal dosa (Ibr 4:15). Melalui diri Yesus manusia bisa melihat Allah (Yoh 12:45).

Meskipun tidak menampik bahwa Allah juga mewahyukan diri dalam agama lain, tapi Yesuslah pewahyuan Allah yang utuh yang tidak terdapat di agama lain. Utuh berarti penuh, tidak salah satu. Keutuhan Yesus menyangkut karya, perkataan, perbuatan dan seluruh hidup-Nya. Yesus wafat demi penebusan dosa manusia. Karena ketaatan-Nya kepada Bapa Ia dibangkitkan dan menjadi Kristus. Sampai tiba saat-Nya Yesus Kristus harus kembali kepada Bapa karena memang Ia berasal dari Bapa. Maka, sebelum kenaikan-Nya ke surga ia mengutus para rasul untuk mengajarkan apa yang diperintahkan Yesus kepada mereka (Mat 28:20). Ia akan mengutus Roh Kudus kepada mereka, dan dalam Roh Kudus itulah Yesus menyertai mereka sampai akhir zaman (Luk 24:49).

Perutusan inilah yang dijaga dan dipelihara terus oleh para rasul dan para penggantinya. Berasal dari sebuah tindakan ‘gathering’ para kaum beriman akan Kristus berkumpul, bertekun dalam pengajaran para rasul, memecah-mecahkan roti dan berdoa (Kis 2:42) Mereka tetap terus dengan setia sepanjang sejarah berusaha untuk menjaga perutusan yang diberikan Yesus sendiri – terlepas dari segala kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Gereja. Kelemahan ada karena Gereja berisikan manusia yang juga lemah. Namun, berkat Roh Kudus yang selalu menyucikan Gereja berusaha untuk selalu setia.

Dengan demikian jelaslah mengapa Allah membutuhkan Gereja. Allah menghendaki manusia selamat dan bersatu kembali dengan diri-Nya dalam kerajaan-Nya. Allah sebenarnya mampu bertindak langsung untuk menyelamatkan manusia. Namun, atas kebebasan-Nya, Allah tidak mau karena Ia dan manusia berada dalam ranah yang berbeda. Inilah jawaban mengapa masih ada keburukan yang terjadi di dunia ini. Hal itu ada bukan karena absensi Allah, melainkan karena sifat ciptaan dunia ini yang tidak sempurna. Maka keburukan adalah realitas yang tidak terhindarkan dari sifat tak sempurna itu. Allah dan manusia hanya dapat bertemu dalam keabadian, bukan dalam kefanaan. Untuk itu, Allah membutuhkan peran serta dari pihak manusia dalam proses keselamatan ini. Gerejalah yang mengambil alih peran serta itu karena legitimasi yang diberikan oleh Yesus Kristus sendiri. Dengan demikian, antara Allah dan Gereja berlaku prinsip subsidiaritas. Ketika Gereja tidak lagi mampu menjalankan tugasnya, Allah akan mengambil alih. Bersyukurlah bahwa Gereja sampai saat ini masih mampu menjalankan tugas perutusannya sehingga Allah masih belum perlu untuk menyelesaikan semuanya. Kapan itu terjadi? Siapa yang tahu. Yang bisa kita lakukan sekarang sebagai kaum beriman Kristiani (Gereja) adalah mengenangkan peristiwa penebusan misteri salib Kristus dan sepanjang sejarah mengantisipasi kedatangan Yesus sesuai janji malaikat kepada kita. Kita mengenangkan itu dalam Perayaan Ekaristi dan mengantisipasi dalam karya kehidupan kita.

"Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga." (Kis 1:11)