Pada awal terjun ke lapangan menjadi salah satu personil rumah sakit, saya merasa grogi, takut dan bingung. Kondisi ini bukan tanpa alasan. Pertama, saya benar-benar buta terhadap hal-hal berbau rumah sakit. Kedua, pengantar yang telah diberikan di kelas sangat abstrak. Mereka, para dosen dan tamu, memang telah banyak menceritakan pengalaman mereka sebagai pelayan kesehatan. Tetapi tetap saja hal itu tidak berbicara banyak bagi saya. Saya belum mengalaminya sendiri sehingga semuanya masih berhenti pada tataran teori saja.
Tiba pada harinya, saya berangkat menuju tempat di mana saya akan menjalani proses proyek ini. Yang menjadi tempat saya terlibat adalah rumah sakit panti rapih. Lebih khusus, saya akan membantu di ruang Elizabeth 4, bangsal untuk pasien internis (penyakit dalam). Saya datang agak telat kala itu, karena memang jam masuk yang terlalu pagi bagi saya, yakni 07.30 WIB. Saya dikejutkan dengan kebiasaan yang para perawat di bangsal ini, dan saya kira seluruh bangsal di rumah sakit. Saya mengikuti kegiatan doa bersama yang mereka lakukan. Kami bernyanyi, dan berdoa mohon penyertaan Tuhan untuk kegiatan pelayanan hari ini. Saya terkesan karena disela-sela pekerjaan yang begitu sibuk kami menyempatkan diri untuk berdoa. Semboyan “ora et labora” saat itu menjadi hidup.
Kebingungan saya mulai menjadi-jadi ketika para perawat yang lain mulai melakukan aktivitasnya. Mereka menempati posnya masing-masing dan mulai melakukan tugasnya. Sedangkan saya sendiri tidak tahu untuk berbuat apa. Sampai pada suatu saat, salah seorang perawat meminta saya untuk menemaninya mengajak mandi pasien (bagi yang bisa) dan memandikan pasien. Saya lalu mengantar beberapa pasien laki-laki ke kamar mandi. Saya membantu mereka melepaskan pakaian. Begitu mereka selesai mandi, saya juga membantu mereka memakai pakaian. Saat terdengar ucapan “terima kasih” dari mereka, saya sungguh sangat senang. Saya bahagia karena perbuatan kecil seperti itu bisa berarti banyak buat mereka.
Pengalaman itu membuat saya semakin bersemangat untuk melakukan pekerjaan yang lebih lagi, yakni memandikan pasien. Saya memutuskan diri untuk meminta ijin kepada perawat ketua bangsal untuk ikut memandikan pasien. Ketika mulai memakai sarung tangan dan celemek saya malah dihadang oleh perawat ketua bangsal. Saya tidak diperkenankan untuk memandikan pasien. Dalam hati, saya merasa kecewa karena keinginan saya untuk membantu tidak didukung. Saya hanya diijinkan untuk membantu menemani pasien saja. Ya sudah, apa boleh buat. Saya harus menaati aturan di sini. Apalagi ditambah dengan pengalaman memalukan yang saya buat sebelumnya. Yaitu ketika saya mau membantu berdiri pasien fisioterapi yang bahkan dilarang untuk duduk. Saya sempat malu dan merasa bersalah.
Awalnya, kebingungan ini sempat pudar karena timbul semangat yang berkobar dalam diri saya. Tetapi, karena larangan oleh perawat dan satu kesalahan membuat saya mengurungkan niat untuk melibatkan diri lebih dalam aktivitas medis. Mendengarkan dan menemani. Itulah dua aktivitas utama yang akhirnya saya pilih untuk dilakukan di tempat ini. Sadar bahwa pasien butuh sahabat, maka dua aktivitas ini menjadi hal yang berharga. Selama kurang lebih 10 hari, hanya dua aktivitas itu yang saya lakukan. Mendengarkan dan menemani. Berawal dari pertanyaan sederhana, obrolan bisa meluas kemana-mana. Saya pun bisa merasakan lelahnya mendengarkan cerita seseorang. Tetapi kelelahan itu terbayar tuntas ketika mereka mengucapkan rasa terimakasih karena sudah dikunjungi dan ditemani. Maka benar kata Yakobus, iman tanpa perbuatan adalah kosong. Adalah iman yang mendorong saya untuk bergerak. Iman juga yang memberikan saya semangat untuk menghampiri pasien dan menumbuhkan harapan dalam diri mereka.
Sudahkah iman anda menumbuhkan harapan bagi orang lain di sekitar anda??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar