Panggilan menjadi imam: Apakah sebuah misteri?
Apakah panggilan sebuah misteri? Pertanyaan ini sering terlontar dari dalam benak saya. Mengapa saya yang dipanggil. Mengapa bukan orang-orang yang memiliki kepribadian dan kemampuan lebih baik daripada saya? Saya masih ingat bagaimana saya dulu mendaftar ke seminari menengah hanya karena ingin main musik orkestra. Saya mendaftar dengan mengajak serta kawan tetangga saya yang juga satu SMP dengan saya. Kami mendaftar, tes tertulis dan wawancara bersama. Sampai akhirnya ternyata kami berdua diterima di seminari menengah Wacana Bhakti. Namun sayang, akhirnya kawan saya itu mengurungkan niatnya untuk masuk. Sebenarnya ia hanya iseng dan coba-coba ikut test. Lagipula ia juga tidak bisa menerima bahwa ia nanti akan menghabiskan waktu 4 tahun di seminari. Terlalu lama. Maka, akhirnya saya yang pergi dan masuk seminari bergabung dengan 25 seminaris baru lainnya dari pelbagai paroki di KAJ. Banyak pengalaman-pengalaman saya lewati yang akhirnya membawa saya selama 12 tahun perjalanan panggilan ini. Sekarang saya adalah frater teologan, yang (dengan kehendak Allah) pada tahun 2012 nanti ditahbiskan menjadi imam.
Kemisterian panggilan ini dialami melalui pengalaman-pengalaman yang saya lalui. Dari 26 orang di seminari menengah, sekarang tinggal 4 orang. Dua orang calon imam untuk KAJ, seorang lagi calon imam untuk Keuskupan Bandung, dan seorang lagi calon imam untuk Keuskupan Bogor. Lama saya berpikir dan merenung mengapa kami yang akhirnya masih bertahan? Mengapa orang lain yang semula saya lihat dia mampu, ternyata mundur dan memilih cara hidup yang lain? Apa yang Allah lihat dari saya sehingga tetap menjaga saya?
Jawaban atas pertanyaan besar ini akhirnya saya temukan ketika saya merenungkan Injil. Sabda yang saat itu saya kontemplasikan adalah Injil Matius 25:14-30. Di sana dikisahkan ada seorang yang mau bepergian ke luar negeri. Lalu ia mempercayakan hartanya kepada hamba-hambanya. Jumlahnya bebas ia tentukan sendiri. Satu hamba diberi lima talenta, yang lain dua, yang seorang lagi satu talenta. Lalu ia berangkat. Yang menarik justru apa yang dilakukan para hamba itu. Yang menerima lima talenta menjalankan uang itu lalu beroleh laba lima talenta. Yang menerima dua talenta juga berbuat demikian dan memperoleh hasil dua talenta. Tetapi, yang menerima satu talenta malah menggali lobang dalam tanah dan menyembunyikan uangnya. Nah, ketika tuan itu pulang dari bepergian, ia mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya tadi. Kedua hamba yang pertama melaporkan kegiatannya dan akhirnya membuat tuannya senang. Lantas tuannya berkata: "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." Laporan hamba yang terakhir akhirnya membuat tuannya kecewa karena ia tidak mengusahakan talenta itu dengan cara apapun. Talentanya diambil dan diberikan kepada yang lain, dan ia dicampakkan.
Melalui permenungan injil ini saya akhirnya berkata dalam hati saya sendiri. Apakah panggilan itu misteri? Bukan. Panggilan menjadi imam adalah anugerah. Mengapa anugerah? Karena panggilan itu adalah rahmat yang bersifat cuma-cuma dari Allah. Saya tidak memintanya, tetapi Allah memberikannya secara bebas. Banyak orang tua berharap anaknya bisa menjadi imam, tetapi ternyata anaknya memilih panggilan hidup yang lain. Setahu saya, orang tua saya tidak pernah sekalipun memaksa saya menjadi imam, atau bahkan berdoa supaya saya terpanggil menjadi imam. Yang saya tahu, ayah saya malah menginginkan saya menjadi anggota ABRI. Tapi harapan ayah saya pupus ketika saya harus memakai kacamata. Lalu, apakah cukup dengan hanya mengandalkan rahmat Allah yang gratis itu? Sepanjang pengalaman, saya akhirnya berkesimpulan bahwa panggilan harus dicintai dan diperjuangkan. Perutusan adalah sarana untuk mencintai dan memperjuangkan rahmat panggilan Allah yang semata-mata gratis itu.
Perutusan: sarana mencintai dan memperjuangkan panggilan
Saat di Tahun Orientasi Rohani (tahun pertama di seminari tinggi) saya mengalami kecelakaan sewaktu mengikuti program probasi selama 5 minggu. Jari telunjuk kanan saya tertekan mesin press spon sehingga harus diamputasi satu setengah ruas. Kejadian ini cukup memukul diri saya. Saat itu kepribadian saya masih mentah, terlihat dari sifat minder yang saya miliki. Kejadian ini semakin membuat saya skrupel karena kelemahan fisik ini tidak bisa ditutupi. Ada dua pilihan yang muncul dalam diri saya waktu itu. Pertama, hanya menerima dan berkutat dalam sifat skrupel saya itu. Atau sebaliknya, memperjuangkan panggilan saya dengan mengolah pengalaman ini menjadi pengalaman berharga. Proses menerima kondisi selanjutnya tidak mudah. Saya sering spontan menyembunyikan kekurangan ini ketika berhadapan dengan orang lain. Tujuannya hanya satu, supaya mereka menerima saya tanpa tahu kekurangan fisik saya. Lama kelamaan, hal ini membuat saya tersiksa karena saya harus terus berpura-pura. Dengan demikian, kebahagiaan saya lantas ditentukan oleh penilaian orang lain. Padahal kebahagiaan harus diciptakan dari dalam diri sendiri lepas dari segala hal di luar diri. Melalui pengolahan diri lebih lanjut akhirnya saya mampu menerima kondisi ini apa adanya. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Saya juga bersyukur bahwa saya pernah diutus untuk berpastoral di tengah-tengah teman-teman cacat fisik, tuna netra, tunarungu, dsb. Pengalaman itu membuat saya tersadar bahwa kekurangan yang saya miliki hanya "kerikil kecil" dibandingkan dengan kekurangan yang mereka miliki. Mereka tidak mampu melihat. Ada juga yang tidak mampu mendengar. Tetapi, mereka tidak menjadikan kekurangan itu sebagai halangan untuk berkembang. Kelalaian saya sendirilah yang mengakibatkan jari telunjuk saya berkurang. Tetapi, relasi dengan Allah memberikan makna positif dibalik kelemahan itu.
Pengalaman lain lagi adalah ketika saya mulai masuk tahun filsafat. Saya diutus untuk studi dan membuat skripsi. Saya tidak begitu senang dengan filsafat dan teologi. Namun, demi cinta saya dalam panggilan ini saya harus melakukan dan menuntaskan studi saya. Tesis saya bahwa panggilan harus dicintai dan diperjuangkan sangat terlihat khususnya pada masa-masa penyusunan skripsi. Salah satu teman saya memiliki kekurangan dalam hal studi. Saya juga sadar bahwa saya sendiri tidak lebih baik dari dia. Tapi jika ingin melanjutkan panggilan menjadi imam, saya harus memperjuangkannya. Sementara, teman saya seperti tidak punya semangat untuk memperjuangkan panggilannya. Dan akhirnya saya lulus, dan dia, meskipun sudah diberikan tambahan waktu, tetap tidak menyelesaikannya.
Perutusan seringkali memaksa seseorang melampui batas kemampuan dirinya sendiri. Perutusan seringkali diberikan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Pernyataan ini saya alami saat saya masuk masa Tahun Orientasi Pastoral. Ada satu pengalaman lagi yang membuat saya sadar bahwa panggilan harus dicintai dan diperjuangkan. Akhir TOP tahun pertama, saya terlibat "kasus" yang cukup berat. Kasus ini definitif akan membuat saya dikeluarkan. Sejenak saya mau lari saja. Lempar batu sembunyi tangan. Tidak menyelesaikannya lalu membohongi diri sendiri dan staf seminari tinggi seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun, bagaimana pun juga, gelap tidak akan menjadi gelap selama-lamanya. Ditutupi serapi apapun, ikan busuk akan tercium baunya. Saat itu, dari dalam hati kecil saya masih mau menjadi imam dan masih mencintai panggilan ini. Perjuangan untuk panggilan ini akhirnya saya lakukan dengan memutuskan untuk berani menyelesaikan masalah meskipun harus merendahkan diri serendah-rendahnya. Pada saat datang tawaran untuk studi teologi lebih lanjut, saya akhirnya berani jujur terhadap diri saya sendiri. Daripada saya mengatakan sanggup padahal masih banyak yang masih harus saya olah, lebih baik saya jujur bahwa saya masih butuh waktu bagi satu segi dalam kepribadian saya untuk diolah. Saya tidak memutuskan untuk mengundurkan diri tetapi mohon agar saya diutus untuk masa orientasi kembali di tempat yang berbeda. Akhirnya permohonan itu dikabulkan dan saya menjalani tahun orientasi pastoral yang kedua. Masa orientasi yang kedua inilah yang akhirnya membuat saya merasa yakin dan siap untuk studi teologi lebih lanjut. Dan akhirnya saya hadir di seminari tinggi Kentungan ini, menyelesaikan tahap studi akhir dalam formasi sebagai calon imam. Di tempat ini, perjuangan dan mencintai panggilan saya wujudkan dengan setia pada ritme hidup teratur yang saya buat. Saya bersyukur bahwa tempat ini mendukung keteraturan itu.
Kembali ke injil, saya tidak akan membayangkan apa yang terjadi jika saya bersikap seperti hamba yang terakhir: mengutuki rahmat panggilan yang telah diberikan Allah kepada saya. Sebaliknya, saya bersyukur bahwa ada kekuatan yang membuat saya bersikap seperti hamba yang pertama dan kedua: melihat panggilan sebagai rahmat dan mengusahakan anugerah yang Allah berikan itu sehingga berbuah. Allah sendirilah sumber kekuatan itu. Mencintai rahmat panggilan Allah berarti mencintai Allah yang memberikan anugerah itu. Wujud dari cinta itu adalah menerima perutusan dan memperjuangkannya dengan setia.
gw selalu suka tulisan-tulisan orang ini. simple, singkat, smart dan bermakna. bukan cuma sekedar 'sampah'
BalasHapus