20 November 2010

MEMAKNAI SEBUAH PENDERITAAN

Pengalaman di posko pengungsi
Terhitung sudah dua minggu sejak letusan dahsyat Merapi (5/11/10) memaksa banyak orang untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Seminari St. Paulus, tempat saya tinggal adalah salah satu dari sekian banyak tempat yang menyediakan diri sebagai tempat pengungsian. Masih jelas diingatan saya, hari jumat yang lalu itu. Sekitar pukul 00.00, saya sedang tertidur, tiba-tiba saja terdengar ledakan dari arah utara. Suaranya menggelegar seperti sambaran petir. Dan itu berlangsung terus menerus. Tak berapa lama kemudian terdengar suara sirine ambulan yang meraung silih berganti. Kontan, dari dalam kamar – masih dalam keadaan tidak sadar, - saya mendengar keributan di sepanjang jalan koridor. Kondisi ini memaksa saya untuk keluar dan melihat. Begitu sampai di koridor, saya langsung mencium bau belerang/sulfur yang sangat kuat. Seorang romo dan sebagian besar teman-teman saya sibuk berlarian, membawa tikar yang kami punya untuk ditempatkan di ruangan kelas. Tak lama kemudian, banyak orang berdatangan. Rambut mereka dihiasi debu-debu vulkanik. Saya tergoda untuk melihat merapi dari kejauhan. Saya lalu naik balkon kapel yang agak tinggi untuk mencoba melihat, sementara suara letusan masih terus terdengar……. Tidak terlihat. Benar-benar gelap. Semuanya tertutup abu. Maka, saya mengurungkan niat untuk melihat lebih jauh. Saya kembali ke kamar, mencoba untuk tidur lagi. Suara dentuman masih berlangsung. Sembari berbaring, saya menutup mata, mencoba untuk tidur. Tapi tidak bisa. Baru kali ini saya merasakan ngeri dan ketakutan yang besar. Kalau-kalau efek letusan merapi benar2 sampai ke tempat ini.

Pagi harinya, ada suasana yang berbeda. Ya, debu sudah sampai ke tempat ini. Dan hujan abu masih terus berlanjut. Seusai misa pagi saya langsung menuju ke kampus FTW yang menjadi tempat pengungsian. Saya mau membantu apa yang saya bisa. Lalu, saya diminta untuk mengambil karpet di rumah salah satu ordo dengan menggunakan mobil. Akhirnya saya mendapat kesempatan untuk melihat seperti apa kota jogja saat itu. Benar2 parah. Abu2 di mana-mana. Jarak pandang hanya sekitar 10m… Tidak terlihat apa2, dan abu masih terus turun dari langit. Pengungsi semakin banyak berdatangan. Mulai dari 300 orang, 500 orang, hingga sampai menyentuh 937 orang.

Lama kelamaan tempat ini bukan lagi sekedar untuk menampung pengungsi tetapi mulai membuka posko. Mau gak mau ini harus dilakukan karena para pengungsi harus diberi makan dan kebutuhan primer lainnya harus dipenuhi. Terhitung dalam 5 hari sejak bencana itu bantuan mengalir deras berdatangan ke seminari. Beruntung, banyak mahasiswa-mahasiswi yang menyediakan dirinya untuk menjadi relawan untuk membantu. Praktis seluruh posko langsung otomatis berdiri dengan para frater sebagai koordinatornya. Ada admin registrasi relawan, mendata keluar masuknya relawan tiap harnya. Ada juga admin penerimaan yang mengatur pencatatan penerimaan sumbangan barang. Selain itu, berdiri pula admin pengeluaran, yang melayani permintaan barang dari pihak yang membutuhkan. Ada posko pengungsi, full 24 jam melayani pengungsi, memberi makan, pakaian, dan segala keperluan lainnya. Bahkan posko pengungsi juga dilengkapi radio yang mengudara setiap jam 11 siang, memutar lagu dan mengirim pesan. Ada pula gudang-gudang logistik. Termasuk di dalamnya logistik ringan, berat, perlengkapan, pakaian, kesehatan, dan sebagainya. Itu yang baru kelihatan. Tidak sedikit pula ibu2 dan para suster yang bekerja keras di dapur 25 jam!!.. Mereka bekerja sebelum semuanya bangun pagi, menyiapkan sarapan, makan siang, dan malam setiap harinya. Tidak hanya itu, masih ada posko pembungkusan nasi. Ada juga angkringan 24 jam, gratis. Para pengungsi bisa memesan kopi, atau minuman hangat lainnya sesuka hati.


gudang logistik berat



para relawan lagi bungkusin nasi


kaya sarden... empet2an


aula tempat tidur pengungsi

Dari sisi trauma healing pun tidak mau kalah. Banyak organisasi dari luar yang meminta izin untuk mengisi acara bagi para pengungsi. Tiap pagi, diadakan kelas belajar bagi anak2. Setiap sore sampai malam hari juga diadakan acara-acara hiburan. Band dangdutan, jatilan, bahkan sampai frater-frater turut menyumbangkan acara teater. Pukul 08.30 setiap pagi diadakan senam kesegaran jasmani yang dipimpin oleh salah satu frater yang goyangannya dikenal yahud. Dan pastinya frater yang dimaksud bukan saya hehehe.


senam yahuddd


aerobik di pagi hari


Anak2 belajar


anak2 sedang bermain

Melihat kondisi dan suasana pengungsian seperti itu tak heran jika para pengungsi betah tinggal di sini. Bahkan ada seorang keluarga kaya yang memilih tinggal di sini daripada rumah saudaranya yang terletak di daerah selatan jogja. Saya juga pernah mengantar makanan ke barak pengungsian di daerah Prambanan dan Klaten. Melihat kondisi pengungsian di sana, saya semakin yakin bahwa tempat ini adalah pengungsian yang paling nyaman di antara semuanya. Air melimpah, permintaan selalu dilayani dengan baik. Bahkan para pengungsi dapat melakukan aktivitas yang belum tentu ada saat mereka di rumah. Bermain gamelan, band, misa harian tiap pagi, dsb.


Dua minggu dengan kondisi seperti ini jelas membuat saya jenuh. Apalagi kegiatan kuliah untuk sementara diliburkan. Otomatis seluruh perhatian saya tercurahkan kepada kegiatan sosial ini. Kejenuhan muncul karena saya melakukan aktivitas ini sebagai pekerjaan saja. Saya belum sampai kepada pemaknaannya. Lantas, muncul pertanyaan dalam diri saya. Apa yang menggerakan semua aktivitas ini? Mengapa orang mau repot-repot bergerak membantu sesamanya? Mengapa orang rela kurang tidur, mengesampingkan pekerjaan hariannya untuk membantu pengungsi? Saya sebenarnya bisa saja apatis, masa bodo, dan memilih ngendon di kamar saja. Tetapi tidak bisa. Kebanyakan orang mungkin bisa menjawabnya bahwa tindakan ini adalah persoalan solidaritas dan kemanusiaan. Tapi, bagi saya dan orang katolik lainnya, apakah pertanyaan di atas juga berhenti pada jawaban seperti itu. Jika iya, sayang sekali. Motivasi kita pun tak ubahnya dengan orang lain. Bahkan jika pertanyaan itu ditujukan kepada relawan yang ateis, dia akan menjawab, “ini demi kemanusiaan”. Lalu apa bedanya kita dengan orang ateis?

Iman memaknai penderitaan
Seorang teolog Jerman, Jurgen Moltmann mengatakan bahwa sebagai orang katolik, IMAN-lah yang menggerakan itu semua. Sebagai contoh: ada dua orang dokter yang mengoperasi dua pasien yang sama. Satu katolik, yang lainnya ateis. Dua-duanya berhasil melakukan operasi. Perbedaannya terletak pada motivasinya. Dokter ateis melakukan operasi bersumber dari keahliannya. Sedangkan sang dokter katolik bersumber dari imannya.

Moltmann mengatakan bahwa rancangan karya keselamatan Allah sudah dimulai sejak penciptaan dan akan mencapai kepenuhannya pada akhir zaman nanti. Nah, orang beriman diajak untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan itu. Yaitu dengan melakukan perintah yang diberikan Tuhan kepada manusia, “Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (Kej 1:28). Jadi, jelas beriman itu harus berbuat. Beriman tidak mungkin hanya diam saja, menunggu dan melihat. Iman mengajak kita untuk bergerak ikut serta dalam hidup ilahi Allah.

Orang seringkali bertanya-tanya, di manakah Allah berhadapan dengan penderitaan. Di mana Allah ketika Merapi meletus, tsunami Mentawai, banjir Wasior, dan bencana lainnya? Jika memang Allah Mahabaik dan Mahakuasa, mengapa penderitaan tetap ada di muka bumi?

Jawabannya cukup mudah. Penderitaan adalah suatu fenomena yang kedudukannya sejajar dengan peristiwa hidup lainnya, seperti kelahiran, kematian, kegembiraan, sakit dan sebagainya. Lalu mengapa ada hal2 yang buruk di dunia ini? yaaa.. karena statusnya sebagai ciptaan. Gak ada ciptaan yang sempurna kan?? Semua kejadian itu pada dirinya sendiri tidak memiliki makna. Iman kitalah yang memberi makna terhadap semuanya itu. Penderitaan bisa dilihat sebagai suatu yang negatif atau sebaliknya, memaknai penderitaan itu sebagai sebuah momen untuk refleksi untuk bangkit. Tetapi, orang seringkali tidak sadar akan hal ini. Mereka malah justru mengatakan bahwa di dalam penderitaan itu Allah absen. Saat di salib, Yesus pernah mengatakan, “Eloi, Eloi, Lama Sabakhtani!” – “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Bahkan Yesus pun merasa Bapa-Nya telah meninggalkan diri-Nya. Apakah memang demikian. Apakah Allah cuek terhadap manusia yang menderita?

Salah besar!! Yang terjadi justru sebaliknya. Fenomena di atas membuktikan bahwa orang seringkali tertutup oleh nuansa penderitaan yang begitu besar sehingga tidak menyadari kehadiran Allah di sisinya. Manusia Yesus yang disalib juga mengalami situasi seperti itu. Dalam penderitaannya, Yesus yang disalib tidak diam dan meratapi sengsara-Nya. Ia memberi contoh bagaimana kita harus bersikap ketika berada dalam penderitaan. Ungkapan “Eloi, Eloi, Lama Sabakhtani” adalah usaha untuk terus-menerus mencari Allah meski penderitaan dialami dengan begitu berat. Allah yang kita imani adalah Allah yang dekat, yang mau hadir ketika penderitaan itu terjadi. Hanya saja kita tidak menyadarinya. Begitu juga, Allah hadir saat Yesus disalib dan wafat. Bukti dari kehadiran-Nya adalah bahwa Yesus dibangkitkan. Jika Allah tidak hadir, maka Yesus tidak bangkit. Sesederhana itu….

Sebagai kata-kata penutup, saya mau mengatakan bahwa penderitaan, bencana, kesedihan dan segala hal suram lainnya adalah suatu realitas yang tak terelakkan di dunia ini. Semuanya itu hadir secara indiferen, tanpa makna. Iman kitalah yang mampu memberikan makna. Pertanyannya, apakah iman kita sudah mampu memberikan makna atas semua yang terjadi dalam hidup kita? Atau…. Kita malah membiarkan iman kita mati dan tergerus oleh kekhawatiran kita?

2 komentar:

  1. keren..........


    salut gw... lanjutkan...

    BalasHapus
  2. udah selese na.... poskonya udah ditutup.. haha, lo sih balik ke jakartanya cpet2.. coba masi di sini, ikutan relawan deeehh hehee

    BalasHapus