17 November 2009

Membiarkan diri dikasihi oleh Allah

Memberi dan menerima, mana yang lebih sulit dilakukan?

Saya pernah memutuskan untuk menyiapkan sebuah hadiah untuk seorang teman yang berulang tahun. Kebingungan terjadi karena saya tidak tahu mau memberi apa. Akhirnya saya memutuskan untuk memberinya sebuah buku, hadiah yang biasa. Saya beli di gramedia, dibungkus, lalu diselipkan kartu ucapan. Habis perkara. Sekarang hadiah itu tinggal menunggu untuk diberikan.

Saya juga pernah ulang tahun dan diberi banyak kado. Peristiwa menerima kado adalah hal yang paling menyenangkan pada hari ulang tahun. Namun, seringkali apa yang diharapkan tidak sesuai dengan isi kado yang saya terima. Pernah suatu kali saya diberi sebuah kemeja dengan ukuran M!! Padahal jelas-jelas badan saya ekstra large begini.. mana muat??? Yaah daripada dibuang, akhirnya kemeja itu hanya tergantung di lemari, menunggu untuk disumbangkan kepada orang yang membutuhkan.

Dalam hidup ini selalu terjadi peristiwa take and give, memberi dan menerima. Mana yang lebih mudah, dan mana yang lebih sulit? Banyak orang bilang memberi adalah hal lebih sulit karena seseorang harus keluar dari dirinya sendiri dan berpikir untuk berbuat bagi orang lain. Sebaliknya, sikap menerima sering dianggap sebagai perbuatan yang mudah. Orang yang hanya cukup bersikap pasif, tanpa perlu mengeluarkan usaha yang keras.

Dalam permenungan akhir-akhir ini saya menemukan bahwa ternyata menerima justru lebih sulit dibandingkan dengan memberi. Hal itu dikarenakan tindakan menerima adalah menyesuaikan apa yang ada di kenyataan dengan apa yang “seharusnya” di otak kita. Kita mendamaikan keduanya itu. Dalam peristiwa memberi, ide kitalah yang menentukan realita, sehingga memang terkesan lebih mudah. Kita dengan bebas menentukan apa yang terjadi dalam kenyataan. Sebaliknya, dalam peristiwa menerima, realitalah yang menjadi tuan atas idealisme di kepala kita. Mau tidak mau, jika terjadi ketidakcocokan antara keduanya itu, maka idealisme kita yang harus dikalahkan.

Dalam kaitannya dengan iman, Allah bertindak sebagai yang pemberi kado. Setiap hari Ia memberikan kita kado. Sebagai pihak pemberi, kado itu adalah representasi dari pikiran Allah. Kita biasanya mengharapkan kado yang sesuai dengan idealisme kita, tetapi tetap saja Allah yang menyiapkan dan membungkus kado itu sesuai kehendak-Nya. Maka, bisa saja saya mengalami hal yang sama dalam kasus ini. Saya mengharapkan diberi celana oleh Tuhan, eeeh.. ternyata saya mendapatkan kemeja salah ukuran.

Yang saya maksud kado di atas adalah pengalaman hidup. Pengalaman-pengalaman itu seringkali terjadi mengejutkan dan tidak kita kira. Pengalaman itu adalah kado dari Tuhan yang disiapkan sesuai dengan kehendak-Nya yang paling baik. Tetapi karena idealisme kita, seringkali pengalaman yang terjadi tidak sesuai dengan harapan. Di sinilah peristiwa menerima itu hadir. Membiarkan diri dikasihi oleh Allah adalah menerima bahwa sepanjang hidup ini, kita diajak untuk menerima kasih dan kehendak Allah. Hal ini sulit dan seringkali orang tidak menyadarinya. Manusia sulit menerima pengalaman yang tidak sesuai dengan harapannya.

Akhir dari tulisan blog ini tertumbuk pada sebuah pertanyaan reflektif. Ketika Allah memberikan kado lewat peristiwa-peristiwa yang kita alami – baik yang sesuai atau tidak sesuai dengan harapan, sikap manakah yang kulakukan selama ini? Membuang kado itu? Atau, menerima kado itu dan menyimpan isinya? Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar