Tulisan ini terinspirasi dari omongan seorang teman kepada saya. “Gila ya lo Do… Hidup lo santai banget ya..”. Kontan, saya menjawab, “hidup itu udah susah bro, jangan dibikin ribet”. Dan ia hanya tertawa saja. Jawaban spontan itu lantas menjadi sebuah permenungan buat saya. Apa iya, hidup saya terlihat santai? Padahal dipikir-pikir ngga juga ah. Status saya sebagai mahasiswa program magister teologi menuntut diri untuk belajar mandiri. Jadi, setiap mata kuliah modelnya bukan lagi satu arah, melainkan lebih mengajak mahasiswanya untuk belajar dan mencari info sendiri. Ada satu mata kuliah di mana dosen selalu memberikan “kitab kuning” setiap tata muka. Saya sebut kitab kuning karena bahan kuliah itu dicetak dengan kertas warna kuning. Semuanya dalam bahasa inggris. Dan, itu berarti tugas ringkasan untuk pertemuan minggu depan.
Belum lagi, tahun ini seminari sedang merayakan hari jadinya yang ke-75. Demi merayakan itu, seminari memiliki rencana segudang acara sebagai rangkaian pesta intan ini. Misalnya saja, seluruh hari Minggu dalam bulan Maret 2011 ini sudah fully booked dengan acara promosi panggilan ke paroki-paroki. Tentu, waktu-waktu harian banyak tersita untuk latihan, persiapan dan hal-hal lainnya. Plus, segudang acara lain yang menanti di bulan-bulan berikutnya sampai perayaan puncak tanggal 15 Agustus 2011. Nah, itu masih ditambah dengan tugas-tugas harian, nyuci baju, nyetrika, olahraga, belajar, baca buku, kerja kebidelan dan sebagainya.
Maka, saya heran. Kok bisa-bisanya teman saya itu menganggap hidup saya santai? Apa memang benar saya santai, atau kelihatannya saja santai. Lalu apakah kelihatan santai selalu diidentikan negatif? Sinonim dengan malas atau cuek misalnya?
Setelah saya pikir-pikir kok ya ngga juga. Saya bisa mengerjakan semua hal-hal itu dengan baik. Ternyata, memang kuncinya adalah managemen waktu. Managemen waktu membuat saya jeli melihat peluang penggunaan waktu. Dalam sehari, 7 jam istirahat tidak saya ganggu gugat. Ini demi menjalankan prinsip saya, istirahat baik=kerja baik. Berarti sisa waktu yang bisa saya gunakan adalah 17 jam sehari untuk bekerja. Nah, sekarang bagaimana dari 17 jam itu bisa digunakan sebaik-baiknya sehingga tuntutan-tuntutan pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik pula. Ini juga melatih saya dalam hal prioritas. Mana yang mendesak untuk dikerjakan, mana yang bisa diulur. Mana yang penting, mana yang perlu, mana yang berguna, dan mana yang tidak penting.
Yesus pernah bersabda, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (Mat 6:34). Perkataan Yesus ini buat saya berarti banyak. Ia mengajak kita untuk benar-benar menghargai waktu. Perbuatlah apa yang bisa dikerjakan hari ini. Jangan menunda-nunda, sebab besok masih ada perkara lain yang harus dikerjakan. Lagipula, Allah sendiri telah mencontohkan hal ini kepada kita. Dalam kitab Kejadian, dengan jelas kita tahu bagaimana Allah berkarya dan menciptakan bumi dan segala isinya. Allah memandang semua itu baik. Manusia – pria dan wanita – diciptakan-Nya. Allah memandang itu sangat baik. Dan Allah beristirahat setelah selesai menciptakan semuanya itu.
Kitab Pengkotbah pun berkata demikian. Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya (3:1). Untuk apa bersusah hati dalam hidup, karena semua itu ada waktunya.
Jadi, kalau dibilang saya santai, bukan berarti saya malas atau cuek. Tapi karena waktu yang ada saya gunakan sebaik-baiknya sehingga menjalani hidup pun menjadi ringan dan mengalir. Bagi saya hidup itu bukan beban, berat, keras dan sebagainya. Hidup adalah anugerah yang tak ternilai dari Allah. Maka, jalanilah hidup dengan sukacita dan gembira hati. Hidup itu mudah, jangan dipersulit. ^^
Mungkin karena badanlo gede banget kali frat, jd kesannya lamban, jd kesannya nyantai.. wakakakakkaka.. peace... ^^
BalasHapus