Memberi dan menerima, mana yang lebih sulit dilakukan?
Saya pernah memutuskan untuk menyiapkan sebuah hadiah untuk seorang teman yang berulang tahun. Kebingungan terjadi karena saya tidak tahu mau memberi apa. Akhirnya saya memutuskan untuk memberinya sebuah buku, hadiah yang biasa. Saya beli di gramedia, dibungkus, lalu diselipkan kartu ucapan. Habis perkara. Sekarang hadiah itu tinggal menunggu untuk diberikan.
Saya juga pernah ulang tahun dan diberi banyak kado. Peristiwa menerima kado adalah hal yang paling menyenangkan pada hari ulang tahun. Namun, seringkali apa yang diharapkan tidak sesuai dengan isi kado yang saya terima. Pernah suatu kali saya diberi sebuah kemeja dengan ukuran M!! Padahal jelas-jelas badan saya ekstra large begini.. mana muat??? Yaah daripada dibuang, akhirnya kemeja itu hanya tergantung di lemari, menunggu untuk disumbangkan kepada orang yang membutuhkan.
Dalam hidup ini selalu terjadi peristiwa take and give, memberi dan menerima. Mana yang lebih mudah, dan mana yang lebih sulit? Banyak orang bilang memberi adalah hal lebih sulit karena seseorang harus keluar dari dirinya sendiri dan berpikir untuk berbuat bagi orang lain. Sebaliknya, sikap menerima sering dianggap sebagai perbuatan yang mudah. Orang yang hanya cukup bersikap pasif, tanpa perlu mengeluarkan usaha yang keras.
Dalam permenungan akhir-akhir ini saya menemukan bahwa ternyata menerima justru lebih sulit dibandingkan dengan memberi. Hal itu dikarenakan tindakan menerima adalah menyesuaikan apa yang ada di kenyataan dengan apa yang “seharusnya” di otak kita. Kita mendamaikan keduanya itu. Dalam peristiwa memberi, ide kitalah yang menentukan realita, sehingga memang terkesan lebih mudah. Kita dengan bebas menentukan apa yang terjadi dalam kenyataan. Sebaliknya, dalam peristiwa menerima, realitalah yang menjadi tuan atas idealisme di kepala kita. Mau tidak mau, jika terjadi ketidakcocokan antara keduanya itu, maka idealisme kita yang harus dikalahkan.
Dalam kaitannya dengan iman, Allah bertindak sebagai yang pemberi kado. Setiap hari Ia memberikan kita kado. Sebagai pihak pemberi, kado itu adalah representasi dari pikiran Allah. Kita biasanya mengharapkan kado yang sesuai dengan idealisme kita, tetapi tetap saja Allah yang menyiapkan dan membungkus kado itu sesuai kehendak-Nya. Maka, bisa saja saya mengalami hal yang sama dalam kasus ini. Saya mengharapkan diberi celana oleh Tuhan, eeeh.. ternyata saya mendapatkan kemeja salah ukuran.
Yang saya maksud kado di atas adalah pengalaman hidup. Pengalaman-pengalaman itu seringkali terjadi mengejutkan dan tidak kita kira. Pengalaman itu adalah kado dari Tuhan yang disiapkan sesuai dengan kehendak-Nya yang paling baik. Tetapi karena idealisme kita, seringkali pengalaman yang terjadi tidak sesuai dengan harapan. Di sinilah peristiwa menerima itu hadir. Membiarkan diri dikasihi oleh Allah adalah menerima bahwa sepanjang hidup ini, kita diajak untuk menerima kasih dan kehendak Allah. Hal ini sulit dan seringkali orang tidak menyadarinya. Manusia sulit menerima pengalaman yang tidak sesuai dengan harapannya.
Akhir dari tulisan blog ini tertumbuk pada sebuah pertanyaan reflektif. Ketika Allah memberikan kado lewat peristiwa-peristiwa yang kita alami – baik yang sesuai atau tidak sesuai dengan harapan, sikap manakah yang kulakukan selama ini? Membuang kado itu? Atau, menerima kado itu dan menyimpan isinya? Tuhan memberkati.
About Me
- reynaldo.antoni
- Kaliurang, Jogjakarta, Indonesia
- seorang pria biasa, yang mencoba memaknai seluruh hidupnya dengan luar biasa....
17 November 2009
12 November 2009
My life begins at 22, when was yours?
Hidup adalah soal memilih cara pandang terhadap hal-hal yang tidak bisa kita pilih.
Suatu kali saya membaca sbuah buku tentang St. Paulus. Ada satu kalimat yang begitu inspiratif buat saya. Hidup Paulus yang sesungguhnya baru mulai pada usia 24 tahun. Persis saat ia mengalami penampakkan Kristus yang bangkit di Damsyik. Sebelumnya ia menjadi orang yang menghabisi orang-orang kristiani pada jaman dulu. Setelahnya, ia menjadi seorang kristiani yang justru memegang peranan penting dalam sejarah Kristianitas. Hidup selama 24 tahun pertamanya adalah sampah. Selama itu ia hidup tanpa roh dan penuh dengan kekeringan. Intinya, 24 tahun pertama itu adalah hidup Paulus untuk kepentingan diri sendiri, dan cukup! Setelah itu, sepanjang sisa hidupnya ia persembahkan untuk Allah. Bagi paulus, life begins at 24.
Membaca kalimat-kalimat itu spontan membuat saya bertanya-tanya. When i start to begin my life? Pada umur berapa saya mulai menghidupi hidup yang sebenarnya? Lalu, saya langsung teringat ketika saya pun juga mengalami titik balik dalam hidup seperti yang Paulus alami. Hal itu terjadi ketika saya menginjak akhir semester 6 saat masih kuliah filsafat. Saat itu saya berumur 22 tahun. Lebih spesifik lagi pada momen retret akhir tahun tingkat 3. Ketika itulah saya menyadari hal yang Paulus alami. Dalam retret kala itu, saya berefleksi lebih realistis dan menerima segala hidup saya apa adanya. Ya, menerima segala luka-luka dan sakit yang selama itu ada berkat pengalaman masa lalu. Saya tidak berusaha untuk menekan dan bersikap seolah-olah pengalaman itu tidak ada. Tetapi justru sebaliknya. Akhirnya semua bermuara pada cara kita memandang sesuatu. Terutama terhadap banyak hal-hal di dunia ini tidak bisa kita pilih. Atau bisa juga ketika karena sesuatu hal akhirnya membuat kita jatuh kepada pilihan yang salah. Kita tidak bisa memilih untuk lahir dengan rupa seperti apa, lahir di keluarga siapa, dari orang tua siapa, dengan keadaan yang bagaimana, dan hal-hal lain yang terjadi begitu saja tanpa bisa kita atur. Pilihan yang bisa kita buat justru terletak pada cara kita memandang segala hal itu. Maka, kita bisa saja terus mengeluh terhadap keadaan, tidak puas, murung, dan selalu memaki-maki mengapa kehidupanku tidak sebaik orang lain. Tetapi, kita juga bisa memilih bersyukur atas keadaan itu.
Sejak saat itulah, pada umur yang ke-22 saya menyadari bahwa kini hidupku bukan lagi soal kepentingan diri sendiri. Bukan lagi soal mencari apa yang baik, apa yang enak, dan apa yang menyenangkan bagiku. Having fun melulu tanpa sebuah konsekuensi. Saat itu pula saya mengatakan cukup! Tidak mau lagi mencari kesenangan-kesenangan sesaat, santai dan sebagainya. Cukup! Dan selanjutnya hidupku kepersembahkan untuk Allah semata. Maka, pertanyaan yang sama saya lontarkan kepada anda yang membaca blog ini: My Life Begins at 22, when was yours?
Suatu kali saya membaca sbuah buku tentang St. Paulus. Ada satu kalimat yang begitu inspiratif buat saya. Hidup Paulus yang sesungguhnya baru mulai pada usia 24 tahun. Persis saat ia mengalami penampakkan Kristus yang bangkit di Damsyik. Sebelumnya ia menjadi orang yang menghabisi orang-orang kristiani pada jaman dulu. Setelahnya, ia menjadi seorang kristiani yang justru memegang peranan penting dalam sejarah Kristianitas. Hidup selama 24 tahun pertamanya adalah sampah. Selama itu ia hidup tanpa roh dan penuh dengan kekeringan. Intinya, 24 tahun pertama itu adalah hidup Paulus untuk kepentingan diri sendiri, dan cukup! Setelah itu, sepanjang sisa hidupnya ia persembahkan untuk Allah. Bagi paulus, life begins at 24.
Membaca kalimat-kalimat itu spontan membuat saya bertanya-tanya. When i start to begin my life? Pada umur berapa saya mulai menghidupi hidup yang sebenarnya? Lalu, saya langsung teringat ketika saya pun juga mengalami titik balik dalam hidup seperti yang Paulus alami. Hal itu terjadi ketika saya menginjak akhir semester 6 saat masih kuliah filsafat. Saat itu saya berumur 22 tahun. Lebih spesifik lagi pada momen retret akhir tahun tingkat 3. Ketika itulah saya menyadari hal yang Paulus alami. Dalam retret kala itu, saya berefleksi lebih realistis dan menerima segala hidup saya apa adanya. Ya, menerima segala luka-luka dan sakit yang selama itu ada berkat pengalaman masa lalu. Saya tidak berusaha untuk menekan dan bersikap seolah-olah pengalaman itu tidak ada. Tetapi justru sebaliknya. Akhirnya semua bermuara pada cara kita memandang sesuatu. Terutama terhadap banyak hal-hal di dunia ini tidak bisa kita pilih. Atau bisa juga ketika karena sesuatu hal akhirnya membuat kita jatuh kepada pilihan yang salah. Kita tidak bisa memilih untuk lahir dengan rupa seperti apa, lahir di keluarga siapa, dari orang tua siapa, dengan keadaan yang bagaimana, dan hal-hal lain yang terjadi begitu saja tanpa bisa kita atur. Pilihan yang bisa kita buat justru terletak pada cara kita memandang segala hal itu. Maka, kita bisa saja terus mengeluh terhadap keadaan, tidak puas, murung, dan selalu memaki-maki mengapa kehidupanku tidak sebaik orang lain. Tetapi, kita juga bisa memilih bersyukur atas keadaan itu.
Sejak saat itulah, pada umur yang ke-22 saya menyadari bahwa kini hidupku bukan lagi soal kepentingan diri sendiri. Bukan lagi soal mencari apa yang baik, apa yang enak, dan apa yang menyenangkan bagiku. Having fun melulu tanpa sebuah konsekuensi. Saat itu pula saya mengatakan cukup! Tidak mau lagi mencari kesenangan-kesenangan sesaat, santai dan sebagainya. Cukup! Dan selanjutnya hidupku kepersembahkan untuk Allah semata. Maka, pertanyaan yang sama saya lontarkan kepada anda yang membaca blog ini: My Life Begins at 22, when was yours?
Langganan:
Postingan (Atom)